Selasa, 07 Oktober 2008

Bangsa yang "Tahan Banting"

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh MYRNA RATNA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 6 Oktober 2008

Empat puluh tahun lalu, ekonom Swedia yang juga pemenang Nobel, Gunnar Myrdal, menulis karya monumental, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, yang berisi kajian terhadap negara-negara Asia Selatan dan Tenggara (khususnya India, tetapi juga melebar ke Indonesia dan negara-negara lain). Myrdal menggambarkan, negara-negara di kawasan itu dirundung kemiskinan, dibayangi ledakan penduduk dan perekonomian yang suram.

Penyebab kondisi itu, menurut Myrdal, adalah ”keterbelakangan” Asia dalam hal modal, sumber daya, dan tingkat pendidikan. Namun, karakter ”khas” orang Asia juga berperan di situ, seperti disiplin kerja rendah, termasuk disiplin waktu dan ketertiban; kebencian terhadap kerja manual, suka hal- hal irasional, sulit beradaptasi dengan perubahan, kurang berambisi, gampang dieksploitasi, sulit bekerja sama.

Pemerintahan di negara-negara itu dinilainya ”terlalu lembek” (ia menemukan istilah soft states), alias tidak mampu menerapkan disiplin sosial. Reformasi akan sulit diwujudkan karena korupsi dan inefisiensi merajalela. ”Tanpa ada disiplin sosial, sulit bagi negara-negara itu untuk bisa berkembang cepat,” katanya (Time, 15 Maret 1968).

Gunnar Myrdal tutup usia pada 17 Mei 1987 (88 tahun). Ketika itu, Jepang, Korsel (dan China) telah menjadi macan-macan ekonomi Asia. Bahkan, kontras dengan ramalan Myrdal, Indonesia pun melaju sebagai kekuatan ekonomi menengah di kawasan dengan PDB sekitar 3.080 dollar AS.

Namun, krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997-1998 membuka mata tentang perlunya mempertimbangkan faktor kultural (nilai, sikap, keyakinan, dan tradisi) dalam membentuk bangunan ekonomi dan politik sebuah negara. Tentu saja kultur tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan faktor-faktor lain, seperti penegakan hukum, sistem pengadilan independen, transparansi, dan kepemimpinan, untuk mewujudkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan kata lain, mengutip Dwight H Perkins, seandainya saja ekonomi di Asia Timur dan Tenggara dikelola dalam jalur yang menjunjung penegakan hukum dan bukan jalur KKN (korupsi, kroniisme dan nepotisme, sebuah karakteristik khas hubungan pemerintah-pengusaha di Asia, termasuk Indonesia), krisis moneter diyakini tak akan terjadi di kawasan (Culture Matters, hal 233).

Optimisme

Dalam perjalanannya setelah 10 tahun reformasi yang diwarnai keprihatinan mendalam akan masa depan bangsa, tetap ada titik-titik yang membangkitkan optimisme. Salah satunya adalah karakteristik bangsa Indonesia yang ”tahan banting”. Bukankah negeri ini tak habis- habisnya didera masalah? Krisis ekonomi yang berkepanjangan, kerusuhan, bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi, banjir, serangan bom, serangan penyakit, dan konflik berdarah. Namun, bangsa ini tetap bangkit dan memulai lagi.

Mungkin pembaca masih ingat bagaimana warga Yogyakarta bahu-membahu membangun kehidupan mereka kembali hanya beberapa jam setelah gempa bumi meluluhlantakkan sebagian wilayah itu tahun 2006. Mereka memulai bekerja dengan tangannya sendiri sampai bantuan pemerintah datang kemudian. Kita juga semakin sering menyaksikan antrean panjang rakyat yang rela berdiri berjam-jam demi satu jeriken minyak tanah atau satu ember air bersih. Kalau bisa, mereka juga ingin menjerit menghadapi impitan hidup yang makin menyesakkan. Tapi, bukankah hidup harus terus berlanjut?

Sudah sepatutnya pemerintah berterima kasih kepada rakyat yang tetap bangkit meski harta benda lenyap ditelan bencana. Rakyat yang tetap berjuang meski kebijakan pemerintah membuat hidup semakin sulit. Penghargaan itu hanya sepadan bila diwujudkan melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, rancangan kebijakan yang betul-betul mengutamakan kepentingan rakyat, serta penegakan hukum yang tidak diskriminatif.

Mayoritas bangsa ini juga memiliki ”nasionalisme” yang kental (terlepas bagaimana nasionalisme didefinisikan) dengan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Benedict Anderson menggambarkan betapa beda proses mewujudnya nasionalisme di Indonesia dibandingkan dengan di Indochina pada era kolonialisme. Di Indochina tak mencuat kesadaran bersama tentang ”keindochinaan”, sementara ”keindonesiaan” terus bertahan di bumi Nusantara, bahkan mengakar dengan kuat, melintasi zaman (Imagined Community, hal 127).

Jauh sebelum gagasan Indonesia merdeka muncul, kelompok-kelompok yang menamakan diri Jong Ambon, Jong Java, dan lainnya, rela menomorduakan keterikatan etnis dengan tanah kelahiran mereka demi tujuan yang lebih besar, yaitu sebuah ”negara yang belum terwujud” bernama Indonesia, dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda sehingga ketika bahasa Indonesia tahun 1928 diadopsi sebagai bahasa nasional, demikian Anderson, bangsa Indonesia tak pernah lagi menoleh ke belakang.

Gagasan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna, tetapi harta yang harus dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila ”modal” bersama ini dipelihara baik dan dikelola oleh sebuah kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi tantangan apa pun.

[ Kembali ]

Senin, 08 September 2008

Konspirasi Negara Adidaya Itu Memang Ada

KESEHATAN
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 8 September 2008

Selama ini, konspirasi negara adidaya dengan organisasi global hanya muncul sebagai tuduhan. Namun, konspirasi itu ternyata memang ada yang akibatnya menyengsarakan negara-negara miskin dan berkembang, dan yang lebih buruk lagi adalah menyengsarakan umat manusia.

Paling tidak, itulah pengakuan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika menceritakan pengalamannya melawan konspirasi ketidakadilan sistem WHO dalam diskusi ”Perlunya Keberanian dan Keterbukaan untuk Mewujudkan Dunia yang Lebih Baik” di Universitas Paramadina di Jakarta, akhir pekan lalu.

Indonesia, sudah 63 tahun merdeka, mempunyai tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat. Tanggung jawab ini merupakan kewajiban negara. Selain itu, negara juga bertanggung jawab menegakkan citra bangsa di mata dunia. ”Kita bisa menguji pada diri sendiri apakah betul sudah merdeka, baik fisik maupun nonfisik, atau justru sekarang kita mengalami eksploitasi,” ujar Fadilah.

Paling tidak, itulah yang terjadi ketika Indonesia terserang virus flu burung. Musibah ini seakan-akan memberi hikmah kepada Indonesia.

”Saya merasakan adanya ketidakadilan, dan ini membuat saya protes ke WHO atas sistem yang tidak fair. Selama ini, kita disuruh mengirimkan virus ke WHO, tetapi ujung-ujungnya dikomersialkan. Ketika ditanya lebih lanjut kok bisa sampel virus itu berada di Los Alamos, tempat yang sama ketika senjata atom dibuat?” ujarnya.

Virus flu burung Indonesia, menurut Fadilah, merupakan virus dengan strain yang paling ganas di dunia.

”Mengapa kita diwajibkan setor ke WHO dan kita dapat apa? Ternyata kita ditawari vaksin, kalau tidak sanggup membeli, diberi pinjaman, yang harus dibayar nantinya. Inilah sistem dunia yang tidak adil yang saya lawan,” ujarnya.

Itulah sebabnya, Fadilah mengatakan, dirinya menghentikan pengiriman virus ke WHO sejak awal Januari 2007. Kemudian terjadilah serangkaian pertemuan yang dimulai dengan pertemuan pada 10 Februari 2007 dengan utusan WHO dan hasilnya deadlock. Bahkan, Indonesia lalu mengajukan resolusi 60 melawan Amerika Serikat, yang akhirnya bisa dimenangkan karena mendapat dukungan dari 122 negara Non-Blok. Belakangan, resolusi ini juga mendapat dukungan dari Rusia, Inggris, Jerman, dan Australia.

”Inilah bentuk konspirasi dalam mekanisme internasional yang menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.

Dengan menguasai teknologi, memiliki modal dan kemampuan, dianggap sah merampas hak sumber daya alam. ”Inilah pula yang menyebabkan negara miskin makin miskin, termasuk juga intellectual property rights, itu juga tidak menghargai sumber daya alam,” ujarnya.

Fadilah mengatakan bahwa sekarang sudah saatnya dunia harus berubah, Amerika juga berubah, dan dunia global yang hegemoni penuh eksploitasi harus diubah ke arah globalisasi yang penuh harmoni.

”Selama negara masih mengalami hegemoni, negara kuat menguasai negara yang lemah, kita akan selalu menghadapi dunia yang korup,” ujarnya. (MAM)

[ Kembali ]

Budaya dan Industri Kreatif

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 8 September 2008

Di antara kita semakin banyak yang memakai baju batik. Baju batik tidak hanya dipakai pada kesempatan resmi, tetapi juga dipakai sebagai pakaian harian.

Pada hari Jumat di beberapa kantor, tanpa instruksi, para pegawai berbaju batik. Batik suatu contoh dari budaya kita, pakaian sekaligus seni. Kombinasi dan interaksi semacam itu, variasi dan jumlahnya banyak.

Ada semacam ”Renaisans”, kebangkitan kembali dari negeri kepulauan kita—17.000 pulau lebih—kemacamragaman budaya kita, flora, dan fauna. Kebangkitan kembali itu dipicu oleh bangkitnya budaya kita yang kreatif. Kreativitas itu tanpa kita sadari menyumbang pada pertumbuhan dan pendapatan negara.

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, sejauh ini kontribusi ekonomi kreatif itu 6,3 persen dari pendapatan domestik bruto atau Rp 104,6 triliun. Informasi dan kesadaran itu kita ketahui dan kita rasakan di antaranya dari sambutan Menteri Perdagangan pada acara pembukaan tahun kuliah baru Universitas Multimedia Nusantara hari Jumat lalu.

Periode Pemilu 2009, hari-hari ini masih sibuk pada persiapan, pendaftaran calon anggota legislatif, maju-mundurnya calon presiden baru, dan ”gangguan konsentrasi pemilu nasional” oleh berbagai pilkada. Pada waktunya nanti, setiap peserta pemilu legislatif dan pemilihan presiden akan mengendapkan diri dan bersiap diri menjajakan program dan motivasi. Motivasi kebangkitan Indonesia lewat momentum pemilu.

Sekaligus dalam konteks itu pula kita kontribusikan refleksi kritis-konstruktif terhadap siapa kita ini, bagaimana sosok dan isi negara kepulauan terbesar di dunia ini. Apa pula potensi kekayaan alam, budaya, kecakapan, dan kebijakan lokal yang dalam interaksi dengan faham kebangsaan dan ideologi nasional kita, Pancasila, membangkitkan kebhinnekaan kita sebagai bukan saja realitas, tetapi realitas yang kreatif.

Tentu saja, kitalah sebagai anak bangsa dan sesama warga yang membuatnya kreatif. Kreatif dalam ekspresi seni budayanya, dalam sikap budayanya yang mau dan mampu mentransformasikan kekayaan alam dan budaya itu menjadi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Disebutkan sebagai ilustrasi subsektor industri kreatif itu di antaranya arsitektur, kerajinan, desain, fashion, musik, film-video-fotografi, penerbitan, layanan komputer, riset dan pengembangan, multimedia, penerbitan. Bisa kita tambahkan sendiri. Memang keberadaannya di tengah kita sehingga kita kurang menyadarinya.

Dari perkembangan di negara-negara industri maju, ternyata, pada mereka pun terjadi perubahan itu. Ialah lajunya industri kreatif yang mengejar dan menyusul industri konvensional dari masa sebelumnya.

Komitmen kita untuk menyertakan budaya kerja yang kreatif, keras, jujur, dan saling percaya, akan lebih cepat lagi kemajuan industri kreatif itu sebagai faktor strategis kebangkitan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa. Bahan refleksi pula untuk ikut memberikan makna dan warna kepada gegap gempitanya persiapan pemilu.

[ Kembali ]

Sabtu, 06 September 2008

Digagalkan, Ekspor Ilegal Rotan

Polda Yogyakarta Amankan Produk Palsu Adidas
KOMPAS/C WAHYU HARYO PS / Kompas Images
Petugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (28/8), menunjukkan barang bukti rotan asalan dalam kontainer yang disita. Sebanyak 50 ton rotan asalan itu akan diselundupkan ke Sudan melalui Singapura.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Pontianak, Kompas - Ekspor ilegal 50 ton rotan ke Sudan melalui Singapura dari Pelabuhan Pontianak digagalkan. Dua eksportir dan seorang oknum pegawai Bea dan Cukai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyelundupan tersebut.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat M Chariri, Kamis (28/8) di Pontianak, mengatakan, penyitaan 50 ton rotan asalan jenis taman atau sega dilakukan pada Selasa lalu pukul 19.30 di Tempat Penimbunan Sementara Gudang/Kade 08 Pelabuhan Dwikora Pontianak. Barang itu terisi dalam dua kontainer berukuran 40 kaki yang siap diangkut menggunakan kapal MV Jasa Setia V5418W.

”Dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang disebutkan berisi 50 ton kepingan gaharu buaya, tetapi saat kontainer diperiksa ternyata rotan asalan,” kata Chariri.

Dua eksportir dari CV DP bertanggung jawab atas pengiriman barang, yakni berinisial RMS dan UMY, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Pontianak. Selain itu, satu oknum pegawai lapangan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Pontianak berinisial TH diduga terlibat dan ditetapkan sebagai tersangka. TH juga ditahan di rutan yang sama.

”Dari pengakuan tersangka, perbuatan (mengekspor rotan secara ilegal) itu baru dilakukan sekali,” kata Kepala Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Pontianak GH Sutejo.

Tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Mereka diancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.

Hasil pemeriksaan sementara diketahui rotan itu berasal dari Kabupaten Ketapang dan dibawa ke Pontianak melalui sungai. Rotan itu akan dikirim ke Sudan melalui Singapura. Belum dipastikan nilai ekonomis dan kerugian negara akibat upaya penyelundupan itu.

Lebih murah

Kepolisian Daerah DI Yogyakarta menyita ribuan sepatu, kaus, dan tas palsu yang menggunakan merek dagang Adidas dari sebuah gudang di Jalan Wahid Hasyim, Condongcatur, Sleman, Rabu sore. Barang bukti yang disita antara lain sepatu dan sandal berjumlah 1.135 pasang, pakaian hangat 1.377 lembar, kaus 148 buah dan 2 buah tas dengan merek sama. Barang itu dijual dengan harga lebih murah dari produk asli. Sepatu, misalnya, dijual Rp 85.000-Rp 105.000, sedangkan kaus rata-rata Rp 35.000.

Menurut Kepala Satuan II Pidana Khusus Direktorat Reserse Kriminal Polda DIY Ajun Komisaris Besar Agung Yudha Wibowo, pihaknya telah menetapkan satu tersangka berinisial GA atau RA selaku pemilik dan distributor barang. Namun, polisi belum bisa memintai keterangan tersangka karena masih berada di Jakarta.

Barang-barang itu tidak diproduksi di Yogyakarta. GA mendatangkan barang itu dari Tangerang dan China. Kerugian Adidas ditaksir Rp 6 miliar per tahun.(WHY/WER)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Hapus Penyebab Biaya Tinggi

Tinjau Ulang Insentif PPN dan PPnBM yang Berlebihan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Pembahasan rancangan amandemen Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau RUU PPN-PPnBM diarahkan untuk menghapus aturan pajak yang menyebabkan biaya tinggi. Diyakini, salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi adalah PPN berganda yang diterapkan pada banyak transaksi.

Ketua Panitia Khusus DPR untuk Paket RUU Perpajakan Melchias Markus Mekeng mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Kamis (28/8).

Menurut Melchias, DPR mencermati transaksi-transaksi perdagangan yang selama ini terbebani penerapan PPN berganda. Pajak berganda tersebut menyebabkan daya saing produk Indonesia rendah meskipun berkompetisi di pasar domestik.

”Lihat produk China. Bagaimana mereka bisa menjual dengan begitu murah? Selain biaya produksi yang ditekan, pasti ada faktor tarif PPN yang rendah sehingga barang China itu sangat murah. Itu akan menjadi bahan pertimbangan kami,” ujarnya.

Melchias menyebutkan, salah satu contoh produk yang tak bisa bersaing akibat pajak berganda adalah minyak jagung. Akibat dibebani PPN sejak pembelian bibit hingga jadi minyak, produk turunan jagung tak bisa bersaing.

Sementara ini, daftar inventaris masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR untuk RUU PPN mencapai sekitar 200 pasal. Jumlah DIM ini masih bisa berubah karena Panitia Khusus RUU PPN akan membuka luas kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan keluhannya melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU). RDPU pertama dalam pembahasan RUU PPN akan digelar tanggal 3 September 2008.

Saat ini, masih ada tiga dari sepuluh fraksi di DPR yang belum menyampaikan usulan DIM RUU PPN, yakni Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS).

Insentif berlebihan

Anggota Panitia Kerja RUU PPN-PPnBM dari F-PAN, Dradjad Wibowo, mengatakan, fraksinya akan mematangkan DIM setelah mendapat masukan masyarakat sehingga tidak perlu mengubah DIM di saat pembahasan nanti. Namun, F-PAN dipastikan akan memperjuangkan penertiban insentif-insentif PPN-PPnBM yang dianggap berlebihan.

”Insentif PPN dan PPnBM yang diberikan kepada beberapa sektor usaha, termasuk industri makanan dan minuman, diberikan tanpa perhitungan dan evaluasi yang akurat mengenai dampak terhadap penerimaan negara dan efek atas industrinya. Insentif itu diberikan lebih karena lobi pelaku usaha dengan tim ekonomi, terutama di Kantor Menko Perekonomian,” tuturnya.

Selain memperjuangkan penghapusan pajak berganda di perbankan syariah, F-PAN juga menekankan agar ada batas bawah tarif PPN. Itu perlu agar tarif PPN lebih fleksibel dengan kondisi perekonomian.

Sementara itu, anggota Panitia Kerja RUU PPN-PPnBM dari F-PKS, Rama Pratama, menyebutkan, fraksinya akan memfokuskan perhatian pada dua hal. Pertama, menghapus pajak berganda pada transaksi syariah. Kedua, memperjuangkan pembebasan PPN dari semua unsur transaksi yang terkait dengan pendidikan.

”Seharusnya, mulai dari pembelian buku pelajaran hingga biaya sekolah tidak dibebani PPN,” katanya.

Transaksi syariah

Adapun fokus terhadap pajak berganda pada transaksi syariah dilakukan karena, ke depan, akan banyak pembiayaan syariah yang membantu pengembangan sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah. Selama ini, ada beberapa jenis transaksi syariah yang diawali dengan penyerahan aset ke pihak ketiga, sebelum diperjualbelikan atau disewakan kepada nasabah. Akibatnya, ada dua kali transaksi yang dianggap layak dipajaki.

”Padahal, sebenarnya tidak ada dua kali transaksi. Itu yang ingin kami luruskan,” ujar Rama. (OIN)

[ Kembali ]

Inkubator Teknologi Atasi Kelesuan Lembaga Riset

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Lembaga riset didorong untuk membentuk inkubator teknologi yang berperan memasarkan hasil-hasil penelitian secara profesional. Dengan demikian, proses pengembangan dan komersialisasi produk riset berjalan dan terjadi regenerasi peneliti.

Demikian dikatakan Syahril, Kepala Bidang Pendayagunaan Hasil Penelitian dan Pengembangan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kamis (28/8) di Jakarta.

Selama ini, penelitian dan pengembangan di lembaga riset pemerintah hanya tertumpuk dan sulit dipasarkan.

Menurut Syahril, model yang diterapkan Jerman dapat menjadi contoh. Di sana para inovator didorong membentuk perusahaan inkubator teknologi dengan dukungan modal ventura. Mereka diberi waktu dua tahun untuk memasarkan karyanya. Apabila usaha itu berhasil, mereka akan dilepas dan dapat mengembangkan perusahaannya. Namun, bila gagal, para inovator bisa kembali ke lembaga induknya.

”Ketika mereka telah sukses mengomersialisasikan hasil penelitiannya, mereka keluar dari lembaga riset yang membesarkannya. Kemudian ada perekrutan penggantinya,” ujarnya.

Untuk mendukung berdirinya perusahaan inkubator itu, Syahril menyarankan ruangan-ruangan di gedung Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Dewan Riset Nasional dijadikan kantor tim peneliti tempat mereka mengadakan temu bisnis dan etalase bagi produk mereka.

Tim peneliti atau inovator itu perlu didampingi para enterpreneur—bergelar MBA misalnya— yang memiliki jaringan luas. Untuk menggandeng swasta, pihaknya menggelar Forum Inovasi Teknologi (FIT) setiap tahun.

Pada FIT kedua yang diadakan di Puspiptek Serpong, Tangerang, Banten, Selasa (26/8), misalnya, terjadi kesepakatan tidak tertulis antara perusahaan multinasional di bidang petrokimia Clariant untuk memanfaatkan hasil litbang Batan, sejauh aplikasi inovasi itu mampu meningkatkan daya saing produknya di pasar dunia.

Komersialisasi hasil litbang

Selama ini hasil inovasi para peneliti Batan masih kurang termanfaatkan dan kurang diminati industri. Demikian diungkapkan Ferhat Aziz, Kepala Biro Hukum dan Humas Batan. Industri masih enggan menggunakan temuan baru, padahal inovasi itu lebih hemat dalam penggunaannya.

Kondisi itu tercermin pada survei yang dilakukan Kementerian Negara Ristek tahun 2005. Data itu menunjukkan, jumlah produk litbang iptek di sektor pemerintah yang dikomersialkan hanya sebesar 14,5 persen dari total produk. Sebagian besar produk yang berupa desain, model, prototipe, varietas benih, hingga peta belum didayagunakan.

Dari 24 aplikasi paten lembaga riset pemerintah yang tercatat di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum & HAM, hanya satu yang dikomersialisasikan. Di Batan, dari 6 paten yang didapat sejak tahun 2000 belum satupun yang diminati industri atau menjadi produk komersial. (YUN)

[ Kembali ]

Batam, Pintu Masuk Impor Ilegal

Penyelundupan
KOMPAS/FERRY SANTOSO / Kompas Images
Aparat TNI Angkatan Laut di Batam, Kamis (14/8), menunjukkan telepon genggam yang diduga diimpor secara ilegal.Dalam kaitan ini ditahan dua kapal, yaitu Batam Indah I dan Batam Indah II.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Kamis (14/8), TNI Angkatan Laut menahan dua kapal kayu yang diduga mengangkut barang-barang impor ilegal, seperti telepon genggam dan minuman keras, dari Singapura ke Batam, Kepulauan Riau. Dua kapal berkapasitas 200 ton sampai 250 ton itu mengangkut barang-barang dari Pelabuhan Jurong, Singapura, dengan tujuan Pelabuhan Sekupang, Batam.

Praktik impor ilegal dengan kapal kayu dari Singapura ke Batam sebenarnya bukan masalah baru. Impor ilegal melalui Batam sudah lama berlangsung dan sangat mudah dilakukan. Jarak Singapura-Batam sekitar 20 kilometer. Jika kapal kayu bergerak dengan kecepatan 10 kilometer per jam, itu berarti dalam dua jam kapal yang membawa barang-barang ilegal sudah sampai ke Batam.

Jika aparat penegak hukum lemah, entah berapa kapal yang mengangkut produk impor secara ilegal dan masuk ke Batam setiap bulan. Barang-barang impor yang dibawa dengan kapal-kapal kayu dan masuk ke Batam dari Singapura sebenarnya bukan hanya telepon genggam dan minuman keras. Juga ada produk lain, misalnya makanan ringan, elektronik, suku cadang kendaraan, keramik, tongkat golf, dan masih banyak produk konsumsi lainnya.

Sebagai gambaran, maraknya produk impor ilegal itu dapat dilihat di toko-toko. Makanan impor tanpa kode makanan luar atau ”ML” dan tidak tercatat di Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan pun mudah ditemukan di pasar-pasar swalayan atau toko. Misalnya, keropok ubi ”Bika” atau permen ”Meiji”.

Selama ini Batam, termasuk Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun, menjadi salah satu pintu masuk barang-barang impor ilegal. Barang-barang itu tidak hanya dipasarkan di Batam, tetapi juga ke wilayah Indonesia lainnya, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jakarta.

Dengan kondisi itu, tidak heran Indonesia menjadi pasar empuk produk impor, baik legal maupun ilegal. Pintu-pintu masuk barang impor, khususnya impor ilegal, seperti Batam, Tanjung Pinang, dan Tanjung Balai Karimun, pun menjadi ”surga” bagi para penyelundup.

Salah satu indikator yang dapat menunjukkan besarnya arus barang impor, termasuk barang impor ilegal, adalah data impor yang tercatat di lembaga resmi Indonesia dan data ekspor yang tercatat di lembaga resmi di Singapura.

Dari data Departemen Perdagangan, nilai impor nonmigas Indonesia dari Singapura tahun 2007 sebesar 3,90 miliar dollar AS. Sementara itu, dari data Departemen Perdagangan dan Perindustrian Singapura (Ministry of Trade and Industry (MTI), nilai ekspor nonmigas Singapura ke Indonesia tahun 2007 sebesar 11,06 miliar dollar AS.

Itu berarti ada selisih atau perbedaan nilai impor barang dari Singapura sekitar 7 miliar dollar AS. Suatu perbedaan nilai yang cukup fantastis. Data itu juga dapat menggambarkan betapa besar pasar dalam negeri diterkam produk impor.

Pencatatan nilai ekspor Singapura ke Indonesia dari versi Singapura lebih valid karena pihak Singapura mencatat nilai ekspor dari data ekspor domestik dan data reekspor. Ekspor domestik merupakan produk yang dihasilkan atau diproduksi di Singapura.

Sementara itu, reekspor merupakan produk negara ketiga yang diimpor ke Singapura dan diekspor kembali ke negara lain. Produk reekspor biasanya hanya mengalami proses pengepakan, pelabelan, atau penyortiran di Singapura.

Di sisi lain, nilai impor dari Singapura yang tercatat di lembaga resmi di Indonesia cenderung kurang valid. Mengapa, karena banyaknya praktik impor ilegal. Selain itu, produk impor sering masuk ke kawasan berikat atau gudang berikat sehingga belum atau tidak tercatat, atau juga belum dimasukkan sebagai data impor.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida mengungkapkan, selama ini memang sering disebut-sebut banyak produk impor ilegal yang masuk ke pasar dalam negeri. ”Sering juga dipertanyakan, mana datanya. Namun, namanya produk ilegal, tidak ada datanya,” katanya.

Akan tetapi, menurut Diah, perbedaan data impor yang tercatat di Indonesia dengan data ekspor yang tercatat di Singapura itu merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa impor ilegal memang terjadi.

Diah menambahkan, perbedaan data mungkin saja terjadi akibat berbagai faktor. Misalnya, pihak Singapura mencatat data berdasarkan nilai barang, asuransi, dan pelayaran (cost insurance and freight/CIF). Sementara itu, pihak Indonesia mencatat data ekspor dari nilai barang di atas kapal (free on board/FOB).

Akan tetapi, jika hal itu terjadi, lanjut Diah, perbedaan data seharusnya tidak terlalu besar. Jika perbedaan terlalu besar, itu menunjukkan impor ilegal terjadi. Karena itu, pengawasan dari aparat terkait, seperti Bea dan Cukai , termasuk TNI AL atau polisi perairan, sangat penting.

”Bea dan Cukai kan yang menjaga dan mengawasi arus barang di daerah pabean. Aparat terkait juga menjaga wilayah perbatasan,” kata Diah. Tanpa kesungguhan aparat pengawasan di lapangan, memang sulit mengatasi praktik impor ilegal atau penyelundupan.

Tambah rawan

Masalah praktik impor ilegal atau penyelundupan, khususnya di Batam, menjadi bertambah rawan. Saat Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ), ketiga kawasan itu menjadi daerah bebas dari pungutan Bea Masuk (BM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan pungutan cukai.

Apalagi, jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam dicabut atau dihapus dengan adanya penetapan FTZ di BBK. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas di Batam menginginkan agar PP itu dicabut.

Itu berarti, empat produk, seperti produk elektronika, otomotif, minuman keras, dan produk rokok dan hasil tembakau, dapat masuk lebih leluasa tanpa pengenaan BM, PPN, PPnBM, dan cukai. Jika produk-produk impor masuk ke Batam dengan lebih leluasa, distribusi ke wilayah Indonesia yang lain pun semakin besar.

Selama ini ada beberapa alternatif jalur distribusi produk impor ilegal yang sudah masuk ke Batam. Misalnya melalui pengangkutan jalur laut dengan kapal kayu ke Pekanbaru. Atau, melalui pengangkutan jalur laut melalui jasa kargo pelayaran kapal Pelni dari Pelabuhan Sekupang, Batam, ke Medan dan Jakarta.

Jika PP No 63/2003 dicabut atau dihapus dengan penetapan FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun, dikhawatirkan pengawasan terhadap impor barang, khususnya impor ilegal atau penyelundupan, semakin sulit.

Saat ini pun, saat PP No 63/2003 masih berlaku dan empat produk itu dikenakan PPN, PPnBM, dan cukai, praktik impor ilegal terus berjalan. Apalagi jika PP No 63/2003 itu dihapus atau dicabut.

Praktik impor yang masih terus berjalan itu dapat dilihat juga dari kasus-kasus penangkapan yang dilakukan aparat. Misalnya, penangkapan dua kapal kayu yang diduga mengangkut telepon genggam dan minuman keras oleh TNI AL di perairan Pulau Tolop, Batam, Kepulauan Riau.

Dari informasi pihak TNI AL, kapal Batam Indah I memuat 104 koli komponen produk elektronik, seperti telepon genggam dan aksesorinya. Kapal Batam Indah II memuat 114 koli komponen produk serupa.

Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Batam Kolonel Muhamad Faisal mengungkapkan, sebagian besar barang di kapal, seperti telepon genggam dan minuman keras, tak sesuai dengan data manifes.

Hal itu juga diakui oleh kapten kapal Batam Indah II, Bagus. Menurut Bagus, barang-barang di kapal itu hanya dilengkapi manifes. Namun, ia tidak dapat memastikan apakah jumlah atau volume barang, seperti minuman keras, di kapal itu sesuai dengan manifes.

”Saya hanya membawa manifes. Mengenai jumlah, saya tidak tahu,” katanya. Bagus sudah beberapa kali mengangkut barang dari Jurong, Singapura, ke Batam.

Sebelum TNI AL menangkap dua kapal bermuatan minuman keras dan telepon genggam itu, aparat Bea dan Cukai di Batam juga pernah menahan ribuan karton berisi minuman yang mengandung etil alkohol atau minuman keras tanpa dilengkapi cukai dan dokumen kepabeanan.

Minuman beralkohol itu diimpor dari Singapura dan masuk ke Batam. Minuman itu kemudian ditemukan aparat Bea dan Cukai di sebuah gudang penyimpanan sebanyak 3.840 karton di gudang di Bengkong, Batam, setelah mendapat informasi dari kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai, di Jakarta.

Padahal, produk minuman keras termasuk produk impor yang diatur ketentuan tata niaganya. Diah Maulida menjelaskan, secara nasional izin impor minuman keras hanya diberikan kepada PT Sarinah dengan sistem kuota. Perusahaan lain tidak diizinkan mengimpor karena minuman keras dikenakan ketentuan tata niaga.

Diah menambahkan, meskipun Batam termasuk daerah kawasan perdagangan bebas (FTZ), tidak berarti semua perusahaan dapat mengimpor barang-barang yang dikenakan ketentuan tata niaga, termasuk minuman keras.

”FTZ itu kan terkait dengan masalah pembebasan Bea Masuk dan pajak-pajak. Ketentuan tata niaga tetap berlaku secara nasional, termasuk di Batam,” kata Diah. (Ferry Santoso)

[ Kembali ]

Strategi Pangan Armada Portugis

Kompas/Agung Setyahadi / Kompas Images
Bangsa Portugis pernah menduduki Kerajaan Ternate di Maluku Utara. Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama kali berhasil menembus Kepulauan Rempah-rempah. Mereka berhasil menundukkan Malaka sebagai gerbang menuju kepulauan itu pada tahun 1511. Kemudian mereka berlayar ke timur hingga mencapai Maluku. Armada Portugis memiliki strategi pangan sehingga mereka bisa bertahan di permukiman yang didirikan di berbagai tempat yang jauh dari negeri asalnya.

Kisah penjelajahan mereka berawal dari minat mereka terhadap komoditas rempah-rempah. Secara umum orang Eropa sudah lama mengenal rempah-rempah, tetapi informasi asal-usul rempah-rempah tidak pernah diketahui. Orang Portugis termasuk yang penasaran dengan asal-usul itu. Mereka sudah lama memiliki keinginan untuk mencari asal-usul rempah-rempah.

Pada saat yang sama sekitar abad ke-15 motif-motif untuk menguasai wilayah terbentuk ketika Portugis melakukan kolonisasi di beberapa tempat di Laut Atlantik. Dari penguasaan itu mereka menyadari bahwa keuntungan besar bisa didapat bila mereka bisa menguasai suatu wilayah.

Setelah itu, ekspedisi pertama untuk mencari rempah-rempah dilakukan tahun 1488 oleh Bartolomeus Dias. Pada tahun itu ia berhasil menjangkau Tanjung Harapan, Afrika. Setelah itu dilanjutkan oleh Vasco da Gama yang membuka jalan menuju India tahun 1498. Hingga kemudian armada yang dipimpin Alfonso de Albuquerque berhasil mendarat di Malaka.

Dalam sebuah publikasi yang ditulis oleh Eduardo Bueno (2001) disebutkan, dalam setiap pelayaran, pasukan dibekali dengan sejumlah makanan. Di kapal, awak kapal akan menyediakan 15 kg daging bergaram, bawang, vinegar, dan minyak zaitun untuk keperluan setiap anggota pasukan selama sebulan.

Kapten kapal mendapat tambahan daging ayam dan domba untuk meningkatkan nilai gizi ransum. Bila bertepatan dengan masa puasa atau masa berpantang, mereka mendapat tambahan makanan, yaitu beras serta ikan atau keju untuk menggantikan daging sapi. Dalam tradisi Katolik, masa puasa dan berpantang dilakukan 40 hari sebelum hari raya Paskah.

Anggur dan air disediakan setiap pagi. Satu orang mendapat 1,4 liter anggur. Air juga diberikan dalam jumlah yang sama. Air digunakan untuk minum dan memasak. Air disimpan dalam tangki kayu.

Pasokan yang komplet itu diberikan hanya untuk sebulan pelayaran. Setelah itu kualitas ransum menurun. Selanjutnya mereka mengonsumsi ransum yang disebut ”sailing cookie” yang terdiri atas roti kering bergaram. Meski ada upaya pengawetan, makanan ini rusak dan berbau busuk karena kecoak. Sudah bisa dipastikan mereka akan mengalami defisiensi asupan makanan bergizi. Masalah ini ditambah dengan kualitas air yang disimpan di tangki kayu yang menyebabkan air mudah tercemar sehingga menyebarkan penyakit diare dan infeksi. Akibatnya, banyak anggota pasukan yang meninggal dalam perjalanan.

Semisal armada Vasco da Gama yang ketika berangkat beranggotakan 160 orang, tetapi sebanyak 100 orang di antaranya meninggal dunia karena seriawan. (Penyakit ini mulai terpecahkan tahun 1601 oleh armada Inggris ketika Kapten James Lancester yang memimpin konvoi terdiri atas empat kapal menuju India. Ia bereksperimen memberi jeruk untuk pasukan di salah satu kapal. Mereka yang mengonsumsi jeruk sehat walafiat, tetapi pasukan di tiga kapal lainnya yang tidak mengonsumsi jeruk hampir separonya meninggal dunia)

Sejak awal armada Portugis menyadari masalah pangan ini. Akan tetapi, mereka belum bisa menemukan cara agar pasukannya bisa mendapat pasokan makanan yang baik. Bertahun-tahun armada yang dikirim selalu pulang dengan tidak komplet.

Meski belum mendapat cara untuk mengawetkan makanan di kapal, mereka membuat strategi pasokan pangan agar bisa bertahan hidup di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun berpengalaman melayari lautan luas yang jauh dari negerinya, mereka membuat cara agar pasukan Portugis tidak kehabisan pangan. Setidaknya mereka bisa mendapatkan pasokan pangan itu di sejumlah pos perhentian.

Di dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) karya Paramita R Abdurcahman disebutkan adanya keputusan Raja Portugis tertanggal 15 Maret 1518 yang memberikan insentif khusus bagi casado (anggota pasukan Portugis yang menikah dan meninggalkan pengabdiannya dalam pelayaran) untuk tinggal dan bercocok tanam di tanah baru yang ditempatinya.

Sejak awal mereka juga didorong untuk menikah dengan wanita pribumi. Mereka juga didorong untuk menanam komoditas yang bisa diperdagangkan dan juga makanan pokok yang dibutuhkan oleh pasukan. Harapannya, mereka bisa membantu pasukan Portugis yang melakukan pelayaran di berbagai tempat.

Mereka umumnya tidak tinggal jauh dengan benteng atau komunitas Portugis lainnya. Mereka memasok pangan untuk mereka. Dengan cara demikian, bila pasukan Portugis diisolasi oleh musuh, mereka masih memiliki pasokan makanan.

Untuk itu, Portugis sangat mempertimbangkan lokasi-lokasi yang layak untuk tempat tinggal ataupun tempat untuk perhentian. Semisal beberapa tempat di Flores dipilih karena di tempat itu dilaporkan banyak bahan makanan, seperti padi, kacang-kacangan, kambing, dan madu.

Meski demikian, pemilihan ini tak mudah dan kadang pula salah pilih. Salah satu tempat di Flores, yaitu Larantuka, dinilai oleh Portugis mampu menyediakan pangan, tetapi Belanda yang kemudian datang menilai tanah di tempat itu tidak subur.

Untuk memperkaya jenis-jenis pangan di daerah jajahannya, pada masa berikutnya, orang-orang Portugis juga membawa berbagai jenis bibit dan tanaman yang didapat dari sebuah negeri yang berhasil ditaklukkan, baik di Asia maupun di Amerika, untuk ditanam di negeri lainnya yang belum memiliki komoditas itu.

Kedatangan orang Portugis yang dipimpin Antonio Galvao juga membawa sejumlah tanaman, seperti anggur, tomat, avokad, dan ketela, untuk ditanam di Maluku (1536-1539). Sumber pangan ini disebutkan meningkatkan kualitas diet orang Maluku yang sebelumnya dinilai buruk.

Strategi pangan itu setidaknya berhasil menyelamatkan pasukan Portugis di Ambon yang dipimpin oleh Jurdao de Freitas (sekitar tahun 1545). Mereka sempat tidak bisa mendapat pasokan pangan dari luar ketika terjadi perselisihan dengan penduduk setempat. Mereka bisa bertahan hidup karena di sekitar benteng masih ada sumber pangan.

Dari penjelajahan bangsa Portugis, banyak peninggalan kebudayaan Portugis dalam hal pangan dan pertanian yang masih dikenal di berbagai tempat di dunia hingga sekarang. Di Indonesia setidaknya ada peninggalan seperti cara berkebun (menanam bunga di pekarangan), makanan (serikaya, bika, ketela, pastel), cara pengawetan makanan (acar), dan alat-alat rumah tangga seperti garpu.

Sementara itu, kedatangan orang-orang Portugis ke berbagai tempat juga membuat mereka mengenal berbagai sumber pangan yang selama ini tidak dikenal di Portugis. Salah satu yang kemudian terkenal adalah durian. Pasukan Portugis juga mencatat berbagai sumber pangan, cara memasak, dan juga mendiskripsikan rasanya. Berbagai sumber pangan ini, terutama rempah-rempah, memengaruhi kuliner bangsa Portugis yang ada hingga sekarang.

Pengumpulan berbagai komoditas yang ditemukan di berbagai tempat juga dilakukan oleh anggota pasukan yang berada di berbagai tempat.

Kala itu Kerajaan Portugis memang meminta agar berbagai jenis tanaman dan hewan dikumpulkan dan dikirim ke negerinya ketika pasukan kembali ke Lisabon.(ANDREAS MARYOTO)

[ Kembali ]

Penguatan Ekonomi Desa

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008
Oleh Mukhaer Pakkanna

Tim Ekspedisi Anjer-Panaroekan 2008 yang digelar Kompas menyampaikan reportase menarik tentang ”Bendar, Pengecualian Desa Nelayan” (Kompas, 23/8/2008).

Kehidupan Desa Bendar Juwana, Pati, Jawa Tengah, dikesankan sebagai desa yang memiliki tingkat kesejahteraan rata-rata di atas penduduk desa nelayan dari daerah lain.

Ada tiga hal yang bisa ditangkap dari ritme kehidupan desa itu, pertama, tingkat social trust masih berjalan sempurna. Relasi kekerabatan yang ditandai semangat gotong royong dan persaudaraan masih terasah.

Kedua, keterlibatan kaum perempuan, termasuk dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap, masih sangat tinggi.

Ketiga, hilangnya sistem ijon (lintah darat) diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Ketiga hal itu sejatinya menjadi modal sosial bagi penduduk desa lain di Tanah Air. Pola kehidupan nelayan yang diperlihatkan di Desa Bendar sebenarnya sudah lama hidup dan bersemayam dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia. Namun, pola-pola itu terberangus akibat kebijakan pembangunan yang tersentralisasi. Inisiasi lokal menjadi lumpuh, diganti kebijakan penyeragaman pusat.

Desentralisasi Desa

Otonomi daerah meniscayakan desentralisasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri berdasar prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000, kebijakan desentralisasi diikuti desentralisasi fiskal dan anggarannya pun terus meningkat signifikan.

Tidak mengherankan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 22 Agustus, kembali menyampaikan, transfer dana dari pusat ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat, yang semula Rp 129,7 triliun (2004) menjadi Rp 292,4 (APBN-P 2008). Bahkan, pada RAPBN 2009 transfer digenjot lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Namun, Presiden mengakui tidak optimalnya pembelanjaan di daerah melalui APBD. Akibatnya, pada APBN 2007 ada sisa anggaran yang amat besar, mencapai lebih Rp 45 triliun.

Peningkatan 134,3 persen transfer dana pusat ke daerah sejatinya mampu menguatkan ekonomi desa. Namun, transfer dana itu lebih banyak berhenti pada lingkaran elite pejabat di daerah. Para pejabat di daerah menganggap pemerintahan desa adalah bawahan bupati. Segala kebijakan desa diatur oleh pemerintahan daerah sehingga desa tidak dianggap sebagai pemerintahan yang otonom (Rozaki dkk; IRE dan FF, 2004). Padahal, desa adalah pion terdepan dalam peningkatan prakarsa dan partisipasi rakyat. Pemerintahan desa seyogianya mampu mangagregasi dan mengatalisasi aspirasi rakyat, terutama dalam rangka merangsang rakyat dalam partisipasi publik.

Diakui, di tingkat desa sudah ada Badan Perwakilan Desa (BPD) yang menjadi corong masyarakat desa menyalurkan aspirasinya. Namun, secara umum, anggota BPD banyak yang tidak paham arti dan fungsi yang mereka miliki.

Tupoksinya tidak jalan karena pemerintah daerah kurang melakukan sosialisasi serius, hanya sekadar prosedural. Fungsi-fungsi legislasi DPD di tingkat lokal tidak optimal. Sementara itu, pemerintahan desa juga kurang memiliki prakarsa merangsang partisipasi dan inisiasi rakyat. Implikasinya, rakyat pun berjalan sendiri-sendiri. Tidak mengherankan jika arus urbanisasi membesar akibat kemelaratan rakyat yang terus mengimpit di desanya.

Penguatan desa

Menurut data Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT; 2008), terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori amat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori amat tertinggal.

Desa tertinggal adalah desa yang belum dapat dilalui mobil, belum ada sarana kesehatan, belum ada pasar permanen, dan belum ada listrik. Rata-rata keluarga miskin di desa tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen.

Data ini berbicara, hampir separuh desa di Indonesia tertinggal. Tentu, peningkatan alokasi anggaran ke daerah dari tahun ke tahun seharusnya mampu mengurangi jumlah desa tertinggal. Namun, stimulus desentralisasi fiskal kurang optimal berjalan untuk membangun prakarsa dan kesejahteraan masyarakat desa. Maka, pendekatan sosial-kultural seharusnya berjalan simultan dengan peningkatan alokasi anggaran ke daerah dan desa.

Untuk menguatkan kapasitas ekonomi desa, perspektif desentralisasi seharusnya berujung tombak di tingkat desa. Prakarsa pemimpin dan tokoh masyarakat desa harus digalakkan. Jangan sampai karisma dan keteladanan pemimpin/tokoh masyarakat desa kian hilang.

Dengan tipikal masyarakat paternalistik, penguatan ekonomi masyarakat desa membutuhkan ”nabi-nabi” yang mampu menggelorakan semangat wirausaha desa. Maka, Pemda harus membuat program berkesinambungan—tidak sekadar dijadikan proyek jangka pendek—mendekati tokoh teladan di masyarakat.

Selanjutnya, perlu pula menghidupkan kembali sistem kekerabatan di desa-desa. Hidupkan kembali semangat gotong royong dan persaudaraan masyarakat. Dalam konteks ini, alokasi anggaran yang besar bukan jaminan untuk membangun sistem kekerabatan. Yang diperlukan adalah membangun saling percaya (social trust) melalui perkumpulan-perkumpulan warga.

Selanjutnya perlu membangun berbagai kelompok sosial dan ekonomi kaum perempuan. Keberhasilan Grameen Bank di Banglades karena mampu membangun kolektivitas produksi di tingkat perempuan. Kata Muhammad Yunus, membantu perempuan akan lebih mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dan, inilah yang membuat Desa Bendar Juwana, Pati, mampu membuktikannya.

Namun, perlu diingat, diperlukan upaya kuat membangun sistem dan kelembagaan ekonomi desa yang didasarkan pada pola kekerabatan dan bagi hasil. Untuk itu, hidupkan kembali sistem jimpitan, lumbung padi, warung-warung desa, dan lainnya.

Mukhaer Pakkanna Peneliti Cides; Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Pahitnya Rasa Gula

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008
Oleh Toto Subandriyo

Ironis. Itulah gambaran kondisi ketahanan pangan negeri ini.

Ketika dunia internasional dilanda krisis pangan dan harga komoditas pangan di pasar dunia meroket, petani di Indonesia justru terpuruk. Harga komoditas pangan yang tinggi di pasar dunia hanya menjadi gula-gula yang tak dapat dinikmati petani.

Setelah harga jual gabah/beras saat panen raya rendengan terpuruk, kini giliran petani tebu meradang. Gula, hasil budidaya tebu musim giling, tak semanis yang diharapkan. Bahkan, gula yang mereka hasilkan terasa amat pahit karena jeblok harganya. Puluhan petani tebu di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, membakar tanaman tebu mereka (Kompas, 29/8).

Meski harga berbagai kebutuhan lain meningkat tajam akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga gula petani awal Agustus lalu justru anjlok pada angka Rp 4.980/kg. Padahal, harga break even point gula petani kita kini rata-rata Rp 4.900/kg. Margin keuntungan yang mereka peroleh turun dibandingkan dengan tahun 2007, saat harga BBM belum naik. Ketika itu harga gula petani sebesar Rp 5.300/kg.

Praktik tidak terpuji

Terpuruknya harga gula petani tak lepas dari buruknya sistem tata niaga gula di republik ini. Saat ini, data kebutuhan dan pengadaan gula amat njomplang. Menurut data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), total kebutuhan gula dalam negeri untuk rumah tangga dan industri mencapai 3,91 juta ton, sedangkan total volume gula yang beredar di dalam negeri tahun ini diperkirakan 6,46 juta ton. Jadi, tahun 2008 ini ada surplus gula sebanyak 2,55 juta ton.

Keterpurukan harga gula petani juga dipicu adanya praktik-praktik tidak terpuji. Jika dihitung komponen harga mulai dari harga pokok pembelian, bea masuk, pajak, biaya inklaring kapal, bea sewa gudang pelabuhan, bea bongkar muat, dan bea transpor truk, maka gula impor tidak akan dapat menyaingi gula lokal.

Anehnya, gula impor dijual dengan harga lebih murah dari gula petani lokal. Mengapa?

Pertama, terjadi praktik dumping oleh negara eksportir gula. Kedua, terjadi pencatatan bea masuk yang tidak sesuai ketentuan (underinvoicing) di pelabuhan. Ketiga, terjadi penyelundupan gula cukup besar dan terbebas dari aneka ketentuan impor.

Merosotnya harga gula lokal, antara lain dipicu membanjirnya gula rafinasi impor. Padahal, gula jenis ini untuk kebutuhan industri makanan-minuman dan tidak layak dikonsumsi langsung.

Ada tiga macam produk gula kristal, raw sugar (hasil dari tebu yang diproses langsung secara defikasi). Gula rafinasi merupakan raw sugar yang diproses melalui kilang gula (refinery) untuk dilakukan pemurnian. Gula putih diperoleh dari tebu yang diproses melalui sistem karbonatasi/sulfitasi. Gula putih merupakan jenis gula yang lazim dikonsumsi langsung oleh masyarakat, sedangkan gula rafinasi, apalagi raw sugar, tidak boleh dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Analisis laboratorium terhadap raw sugar mendapati kadar sukrosa sebesar 97,2-99,54 persen, kadar air 0,1-0,95 persen, kadar abu 0,1-0,35 persen, gula reduksi 0,06-0,086 persen, mikroba mesofilik 770-2.300 per 10 gram, dan yeast (ragi) mencapai 30-45/gram (P3GI, 1999). Ini menunjukkan, komponen bukan gula raw sugar (impurities) amat tinggi. Di AS, gula semacam ini masuk dalam kategori generally recognized as safe (GRAS) dan dilarang dikonsumsi langsung.

Data dan regulasi

Ada berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menolong petani gula. Pertama, pembenahan sistem tata niaga secara menyeluruh. Upaya ini harus diawali dari pembenahan data dan regulasi. Keberadaan data yang valid menyangkut kebutuhan per tahun serta data produksi gula nasional merupakan conditio sine qua non. Melalui data yang akurat ini dapat direncanakan kapan serta dalam volume berapa kita melakukan kegiatan importasi.

Regulasi pergulaan sudah saatnya disesuaikan. Regulasi dibuat dengan seminimal mungkin celah praktik ilegal importasi. Meski menurut WTO bea masuk maksimum 110 persen masih ditolerir hingga tahun 2010, guna melindungi konsumen dan produsen angka perlu ditetapkan secara moderat.

Kedua, upaya peningkatan produktivitas dan produksi gula dalam negeri. Sejarah mencatat, hingga tahun 1960-an, Indonesia adalah eksportir gula terbesar kedua dunia. Namun, kini kondisinya terbalik. Untuk mengembalikan kejayaan itu, agroindustri gula perlu direvitalisasi lebih revolusioner.

Perlu dilakukan pembaruan paradigma dalam kebijakan swasembada gula yang ditargetkan pemerintah tahun 2009. Ada hal yang amat mengganjal dalam kebijakan swasembada gula, di mana kebijakan ini masih mendasarkan kebutuhan gula rafinasi impor. Ini merupakan pembodohan, seolah target swasembada gula tercapai, padahal 30 persen pemenuhan gula rafinasi untuk industri makanan/minuman berasal dari impor.

Ketiga, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Masyarakat umum mengetahui, tata niaga pangan negeri ini lekat dengan aktivitas perburuan rente dan praktik kotor, seperti underinvoicing dan penyelundupan. Penegakan hukum dan pengawasan harus dilakukan.

Kemauan politik yang kuat dari semua pemangku kepentingan dapat menolong petani dari keterpurukan. Tanpa itu, kekecewaan petani tebu akan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Toto Subandriyo Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

[ Kembali ]

Indonesia Patut Belajar dari China dan India

Sosial - Budaya
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Kamis, 04 Sep 2008
by : Iskandar Haji Abdul Mutalib

Laju perekonomian China dan India menjadi magnet dunia

UNTUK membenahi roda perekonomian Indonesia yang karut-marut akibat terjangan badai krisis moneter pada 1997, pemerintah Indonesia diminta tidak hanya fokus membenahi perekonomian, melainkan juga faktor lain seperti faktor sosial, politik, hukum, dan budaya. Sebab, korelasi empat item tersebut menjadi kunci keberhasilan China dan India memperkuat sistem perekonomiannya.

Pendapat tersebut dikemukakan oleh Prof Joel Ruet associate researcher di Ecole des Mines Paris dan Leila Choukroune, asisten profesor di HEC Business School di Paris, dalam seminar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univeristas Indonesia (UI), kemarin dengan tema: The Success of Chinese & India Economics: Lesson & Challenges for Indonesia.

Tak bisa dimungkiri, laju perekonomian China dan India menjadi magnet dunia. Semua mata tertuju kepada kedua negara tersebut. Apalagi kemudian Amerika Serikat mengalami ancaman resesi ekonomi. China dan India, bersama dengan Rusia dan Brasil, dianggap mampu mengambil alih.

Menurut Leila Choukroune, pembicara dari Hec Paris, kurang lebih lima tahun para leadertertinggi pemerintahan China mencoba mengambil kebijakan yang berdamai dengan keinginan mayoritas masyarakat. Artinya, kebanyakan masyarakat di China menginginkan pemerintah tidak menerapkan sistem ekonomi tertutup melainkan sistem ekonomi bebas.

Namun, kata Leila, pemerintah tetap menguasai sejumlah sektor strategis yakni Badan Usaha Milik Negara (BUMN). China sangat ketat dalam urusan mengelola BUMN. Hanya sedikit BUMN dijadikan perusahaan terbuka. “Cara China mengelola BUMN layak ditiru oleh BUMN Indonesia,” katanya.

Joel Ruet mengatakan, Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan India. "Kesamaan tersebut misalnya dalam hal populasi, keberagaman budaya, dan geografis. Maka itu, Indonesia harus lebih banyak belajar dari India ketimbang China," katanya.

Menurut Joel, kemajuan ekonomi China selama ini tidak sesuai dengan teori ekonomi mana pun yang selama ini ada. Sehingga pertumbuhan ekonomi China berpotensi mengeluarkan teori baru. Dikatakan, kebijakan dan strategi ekonomi yang diterapkan India pun senada. Sehingga, industri di kedua negara itu tumbuh cepat ke arah laju yang tidak pernah diprediksi oleh teori ekonomi sebelumnya.

Vencensius Yohanes Jolasa, Ph D, Ketua Departemen Filsafat FPIB bersepakat dengan kedua pembicara bahwa laju perekonomian kedua negara tidak terlepas dari konsep pembagian kekuasaan sebagai sebuah “payung” hukum. Karena kedua negara sangat menegakkan supremasi hukum.

[ Kembali ]

Wujudkan Otonomi Desa

Fokus Hari Ini
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Depok | Rabu, 27 Agt 2008
by : Jan Prince Permata

Negara harus mampu mendorong masyarakat di perdesaan untuk mampu mengelola potensinya sendiri dan mengembangkan diri mewujudkan desa yang kuat. Terbentuknya desa yang kuat pada akhirnya akan membentuk negara kuat, dan desa yang kuat akan terwujud jika negara menjamin hadirnya otonomi desa dalam ketentuan perundang-undangan.

Demikian salah satu kesimpulan seminar sehari Pembaruan Perdesaan dan Kesejahteraan Masyarakat di Kampus UI, Depok, Selasa (26/8).

Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat Departemen Dalam Negeri Sony Sumarsono mengatakan saat ini pemerintah terus menggulirkan soal regulasi pengaturan desa dan pembangunan perdesaan. "Sejak dua tahun lalu, Departemen Dalam Negeri telah melibatkan akademisi dari berbagai universitas, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga donor semacam UNDP menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa," kata Sony.

Menurut Sony, RUU Desa akan lebih menjamin hadirnya otonomi desa dan menyempurnakan ketentuan sebelumnya. Diantaranya, UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang merusak struktur komunitas lokal karena menampik otonomi asli dan melakukan penyeragaman akibat sentralisasi ataupun UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.32 tahun 2004 yang hanya sedikit mengatur soal desa. "Dengan disusunnya RUU ini, kita cukup mempunyai ruang untuk mengatur desa secara serius. Selama ini pembahasan tentang desa hanya tempelan beberapa pasal dalam UU," ucapnya.

Dia menambahkan RUU Desa juga menggeser paradigma dari membangun desa menjadi desa membangun. "Dengan demikian masyarakat desa akan memiliki daya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan menjadi lebih otonom."

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Pataniari Siahaan mengatakan RUU Desa akan melindungi kearifan lokal dan memanfaatkannya sebagai potensi untuk membangun desa sehingga tak berbenturan dengan tradisi lokal. "Kita justru menggunakan kearifan lokal sebagai modal sosial masyarakat dalam rangka membangun desanya. Karena RUU ini memfasilitasi, melindungi potensi desa dan masyarakat desa, termasuk nilai tradisionalnya," katanya.

Agar tidak terjadi perlawanan di masyarakat lokal, Pataniari mengatakan RUU ini perlu dijelaskan kepada masyarakat, termasuk maksud dan tujuannya. "Sosialisasinya harus ditingkatkan."

Pakar Sosiologi Perdesaan dari Universitas Indonesia Robert MZ Lawang mengatakan untuk mewujudkan otonomi desa terdapat tiga permasalah mendasar yang harus dicermati yaitu, permasalahan fundamental, struktural dan institusional. "Setiap desa memiliki kelemahan dan kekuatan untuk otonomi secara institusional, struktural dan fundamental," kata Robert.

Dia juga mengingatkan corak desa di Indonesia sangat bervariasi dan hal itu memang dijamin dalam UUD 1945. Untuk itu dia mengingatkan agar pemerintah dan DPR berhati-hati dalam membahas dan merumuskan ketentuan perundang-undangan menyangkut desa. "Untuk mengetahui rupa otonomi desa yang fungsional diperlukan semacam eksperimen atau ujicoba penerapan," kata dia.

Robert pun merujuk pada Desa Pakraman di Bali yang mampu merespon kemajuan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya.

Heri Purwanto, Peneliti Lembaga Kajian Pemberdayaan Regional (LKPR) Surabaya mengingatkan RUU Desa harus memiliki perspektif membangun swadaya masyarakat.

Menurut dia, selama ini rakyat sangat tergantung terhadap pemerintah utamanya sejak Orde Baru menguasai semua elemen dalam masyarakat. Namun ketika berbagai krisis, termasuk krisis pangan dan energi, menghantam, rakyat desa menjadi korban pertama. Apalagi lanjutnya, di masa mendatang krisis pangan dan energi diprediksi semakin memburuk. Sedangkan kemampuan negara untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat kian terbatas.

"Satu-satunya jalan adalah kembali membangun masyarakat desa untuk swadaya," kata mantan Anggota DPRD Jawa Timur ini.

Rizky Andriati Pohan

[ Kembali ]

Selasa, 02 September 2008

Menangguk Untung dari Petani Miskin

Benih Hibrida
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Pekerja mengemas benih padi hibrida di PT Sang Hyang Seri di Sukamandi, Subang, Senin (25/8).

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 2 September 2008
Oleh
Hermas E Prabowo

Soma (48), tidak meminta belas kasihan. Ia hanya menyuarakan,” Harga sarana produksi pasti tinggi. Sayangnya, harga produk pertanian tidak pernah pasti.”

Itulah kondisi yang selalu dialami Soma, dan petani lainnya. Bahkan situasi itu pula yang dihadapi orangtuanya, bahkan kakeknya, yang menjadi petani.

Persoalan petani selalu berulang. Namun, tidak satu pun ”uluran tangan” pemangku kepentingan yang menyelesaikan persoalan itu. Apalagi di era globalisasi, ketika komoditas pangan dan hortikultura dari negara lain menyerbu pasar lokal. Petani dibiarkan ”bertarung” sendiri melawan kapitalisme global.

Sudomo (65), petani warga Kendal, Jawa Tengah mengungkapkan, ”Petani selalu disuruh berjudi. Mulai dari berjudi dengan alam, karena iklim yang tidak menentu yang menyebabkan kerap gagal panen.”

Setelah memenangkan perjudian dengan alam, petani kecil harus berjudi dengan pasar. Harga komoditas pangan di pasar yang kerap fluktuatif, tak jarang membuat petani bangkrut.

Direktur Penelitian dan Pengembangan PT Sang Hyang Seri (Persero), produsen benih padi varietas unggul bermutu utama (VUB) di Indonesia, Niswar Syafa'at, menyatakan, nasib petani dengan industri benih sama. ”Kami dulu hanya bertugas merakit dan memasarkan benih padi VUB hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi Departemen Pertanian. Sekarang SHS boleh meneliti sendiri, tidak hanya menjadi tukang rakit,” katanya.

Niswar mengungkapkan, harga benih padi VUB seperti Ciherang hanya Rp 6.000 - Rp 7.000 per kilogram. Keuntungan produsen benih VUB relatif sedikit, karena biaya produksi benih VUB relatif tinggi, mendekati harga jual.

Selain itu, produsen benih VUB harus menghadapi pasar yang tidak pasti. Meski sekitar 30 persen dari total kebutuhan benih padi dalam negeri untuk 12,5 juta hektar sawah dipasok dari SHS, namun risiko yang dihadapi SHS cukup tinggi, karena ketidakpastian pasar.

Seandainya boleh memilih, SHS lebih senang memproduksi benih padi atau jagung hibrida. Benih hibrida menciptakan ketergantungan pada penggunanya (petani). Petani atau penangkar kecil-kecilan tidak akan mampu memproduksi benih padi hibrida. Selain proses penyilangannya rumit, butuh ketelitian tinggi, juga harus dilakukan sinkronisasi untuk mendapat produktivitas yang optimal.

Ketergantungan inilah yang mendatangkan keuntungan besar bagi produsen benih. Maka tidak heran bila sejak satu dekade terakhir banyak investor swasta menanamkan modal untuk membangun industri benih.

Syngenta, produsen benih dul nia asal Eropa, misalnya, pada 2007 mengalokasikan 830 juta dollar AS untuk penelitian benih hibrida.

Dupont, produsen benih jagung hibrida, dengan merek dagang Pioneer, berinvestasi besar-besaran. PT Bisi International Tbk, produsen benih jagung hibrida merek Bisi, tahun 2008 menganggarkan miliaran rupiah untuk meningkatkan kapasitas produksi benih hingga 60.000 ton per tahun.

Untung dari hibrida

Memproduksi benih, baik padi atau jagung hibrida, hanya butuh biaya produksi 15.000 - Rp 20.000 per kg. Padahal harga benih padi maupun jagung hibrida di pasaran, Rp 40.000 - Rp 50.000 per kg.

Dengan luas tanaman padi 12,5 juta ha setahun, bila rata-rata kebutuhan benih per hektar 25 kg, total kebutuhan benih padi hibrida di Indonesia mencapai 312.500 ton.

Dengan menghitung harga benih padi hibrida rata-rata Rp 50.000 per kg, potensi pendapatan industri benih padi hibrida setahun Rp 15,62 triliun. Bila biaya produksi benih padi hibrida 40 persen dari harga jual, maka pendapatan bersihnya Rp 9,37 triliun setahun.

Petani akan selalu tergantung pada industri benih hibrida, karena ia tidak dapat mengembangkan sendiri benih itu. Keuntungan akan terus mengalir sepanjang ketergantungan bisa terus dijaga. Caranya dengan riset yang kuat. Keuntungan industri benih semakin berlipat, karena komersialisasi benih hibrida biasanya ”satu paket” dengan penjualan pestisidanya.

Penjualan benih Monsanto misalnya, meningkat 26 persen, dari 2,842 miliar dollar AS pada kuartal III/2007 menjadi 3,588 miliar dollar AS di kuartal III/ 2008. Syngenta juga mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I/2008, menjadi 7,3 miliar dollar AS dibandingkan semester I/2007.

Dengan menanam benih hibrida keuntungan petani akan meningkat. Tetapi biaya produksi pun membengkak.(JOE)

[ Kembali ]

Minggu, 31 Agustus 2008

Politik dan Demokrasi Ekonomi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008

Oleh Ahmad Erani Yustika

Sudah sebulan ini, gempita pasar politik (political market) di Indonesia sudah dimulai. Hal itu ditandai 38 partai politik mengikuti pemilu.

Sebelumnya, telah terdapat iklan beberapa calon kandidat presiden dengan memanfaatkan banyak media. Pasar politik ini berlangsung panjang, hingga April 2009 saat dilangsungkan pemilu untuk memilih anggota legislatif. Usia pasar politik pun kian besar jika ditambah pemilihan presiden-wakil presiden yang kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran. Dengan demikian, seluruh kegiatan itu mungkin akan berakhir Oktober 2009 (saat pelantikan presiden baru).

Dalam sistem ekonomi pasar, pembukaan pasar (ekonomi) yang luas terbukti mendonorkan keragaman tawaran barang/jasa. Pertanyaannya, apakah pasar politik kali ini akan menyodorkan aneka gagasan atau platform menarik?

”Platform” ekonomi

Ada banyak aspirasi perubahan yang diinginkan rakyat. Namun, disepakati, isu ekonomi menjadi prioritas masyarakat. Kini semua pihak mengetahui, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah ada pada bidang ekonomi. Maka, kandidat/partai yang mampu memberi optimisme terhadap perbaikan ekonomi berpeluang besar untuk diterima rakyat.

Pada titik itulah, platform ekonomi menjadi simpul terpenting untuk mengaitkan partai politik dengan konstituennya melalui pasar politik. Sayang, platform ekonomi justru menjadi titik terlemah partai politik di Indonesia sehingga pasar politik gagal menjadi medium pertukaran yang efektif antara partai politik (supplier) dan rakyat (demander).

Ada banyak parpol yang menawarkan platform ekonomi, tetapi hanya satu-dua parpol yang platform-nya bisa diapresiasi. Selebihnya, platform ekonominya terjebak dalam bentuk ”orasi” yang amat normatif, tanpa ada kejelasan apa yang mau diperbuat dengan ekonomi di masa depan.

Kondisi itu bisa karena dua hal.

Pertama, partai politik tidak memiliki basis ideologi yang kuat sehingga bisa memandu dalam mendesain visi pembangunan ekonomi pada masa depan (setidaknya dalam lima tahun). Hal ini menyebabkan platform yang muncul selalu bersifat klise dan normatif.

Kedua, parpol tidak memiliki bahan baku informasi (data) akurat tentang kebutuhan nyata yang diinginkan rakyat. Implikasinya, platform ekonomi yang dijual berjarak dengan rakyat, tidak orisinal, dan normatif. Hasilnya, jumlah partai amat banyak, tetapi mandul dalam menciptakan platform ekonomi.

Demokrasi ekonomi

Saat ini topik demokrasi ekonomi amat aktual karena ada realitas ekonomi yang mencemaskan di Indonesia.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang dicapai diiringi ketimpangan pendapatan serius. Saat Orde Baru, gini rasio Indonesia berkisar pada angka 0,32. Pada tahun 2007, indeks yang mengukur ketimpangan itu (gini rasio) menjadi 0,37.

Kedua, ketimpangan kepemilikan/penguasaan lahan yang memprihatinkan, mencapai 0,7 (amat timpang). Padahal, lahan (tanah) merupakan salah satu faktor produksi paling penting dalam kegiatan ekonomi, selain modal, tenaga kerja, dan teknologi.

Ketiga, terjadi penumpukan modal pada segelintir orang. Rilis data majalah Forbes Asia akhir tahun 2007 menyebutkan, total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 27,86 miliar dollar AS (Rp 259,098 triliun). Jumlah itu ekuivalen dengan 33,93 persen APBN 2007.

Seharusnya, data-data itu menjadi bahan baku yang baik untuk menyusun platform (demokrasi) ekonomi karena sebagian besar persoalan ekonomi bersumber dari sana. Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah mendapat tempat penting dalam wacana pembangunan karena ada dua perkembangan yang berkaitan. Pertama, pengalaman historis para buruh dalam mengajukan tuntutan, lebih sering hanya mendapat janji-janji tentang kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Kedua, ada kesadaran yang meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik tidak sejalan dengan kapitalisme (Devine, 1995). Demokrasi politik yang menyertakan setiap individu dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapat ruang yang laik dalam kapitalisme karena sistem terakhir ini mengandaikan pemusatan pengambilan keputusan cuma pada segelintir pemilik kapital.

Dengan karakteristik semacam itu, proyek demokrasi ekonomi di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dalam konteks ini, ada beberapa kebijakan yang bisa dielaborasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.

Pertama, melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih menggambarkan pembagian faktor produksi yang adil.

Kedua, mencegah munculnya praktik rente ekonomi yang menyumbat peluang bagi masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi.

Ketiga, mengamalkan kebijakan land reform secara tuntas sehingga terbuka peluang bagi rakyat (petani) untuk mengakumulasi kesejahteraan.

Keempat, negara harus hadir untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat persaingan ekonomi melalui beragam skema, misalnya subsidi, pajak progresif, dan program social security.

Parpol yang bisa menyuarakan hal ini berpotensi meraup dukungan karena paralel dengan suara hati rakyat.

Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

[ Kembali ]

Indonesia Masuk "Perangkap Pangan"

Petani Hanya Jadi Buruh Tanam
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008.

Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk dalam ”perangkap pangan” atau food trap negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Bahkan, empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meskipun belum kritis, jagung, daging sapi, dan susu patut diwaspadai.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, krisis ini terjadi karena Indonesia tidak mampu mengatasi persoalan itu sejak dulu. ”Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti untuk mengurangi ketergantungan pangan impor itu, justru sebaliknya malah makin parah,” kata Rudi, Sabtu (30/8) di Surabaya.

Meningkatnya ketergantungan ketahanan pangan negeri ini pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.

Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 6,037 juta ton. Lima tahun kemudian, tahun 2005, impor gandum naik hampir 10 persen menjadi 6,589 juta ton. Tahun 2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton. Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5 persen dari total kebutuhan.

Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,15 miliar ekor (2007), tetapi super induk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/PS)-nya diimpor dari negara maju.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu. Setiap tahun 70 persen kebutuhan susu diimpor dalam bentuk skim.

Untuk jagung, produksi tahun 2008 memang surplus. Namun, peningkatan produksi itu ditunjang oleh penggunaan benih jagung hibrida. Tahun 2008, penggunaan hibrida mencapai 43 persen dari total luas tanaman jagung nasional 3,5 juta hektar. ”Kondisi jagung lebih baik karena ada progres penggunaan teknologi,” kata Rudi.

Meskipun begitu, kebutuhan benih jagung hibrida sekitar 30.100 ton per tahun itu sebagian atau 43 persen bukan berasal dari perusahaan benih nasional atau petani penangkar, tetapi diproduksi oleh perusahaan multinasional, seperti Bayer Crop dan Dupont.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan jeroan beku per tahun mencapai 64.000 ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar 600.000 ekor.

Peran negara kuat

Menanggapi situasi ketahanan pangan Indonesia, yang sangat bergantung pada impor, ahli peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, mengakui, produksi dan perdagangan pangan dunia memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Selain itu, peran perusahaan multinasional (MNCs) pun tambah kuat dan berpengaruh.

Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, negara-negara maju itu melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, menyubsidi pertanian mereka agar komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan di pasar dunia.

Konsentrasi perdagangan pada industri raksasa dunia tampak dari peran MNCs yang menguasai industri hulu sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida. Tidak hanya di hulu, di hilir pun MNCs ”menggenggam” industri hilir pertanian, antara lain dalam industri pengolahan pangan.

Guna mendukung hegemoninya di pasar komoditas pangan, perusahaan multinasional juga mengembangkan ”revolusi” ritel melalui hipermarket dan perdagangan ritel pangan di negara berkembang. Braun dalam hasil penelitiannya di International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan, total penjualan 10 perusahaan MNCs global untuk sarana produksi pertanian mencapai 40 miliar dollar AS, industri pengolahan dan perdagangan pangan 409 miliar dollar AS, dan industri pengecer 1.091 miliar dollar AS (lihat tabel).

Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya kebagian menjadi buruh tanam untuk sarana produksi yang dihasilkan MNCs. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan yang juga milik perusahaan multinasional. Selanjutnya hasil produksi itu diperdagangkan melalui perusahaan ritel, yang juga milik perusahaan multinasional, kepada konsumen, yaitu masyarakat Indonesia, termasuk petani.

Perusahaan Monsanto dari AS, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat di AS, tetapi di ratusan lokasi di dunia.

Syngenta (Swiss), mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I-2008, yakni menjadi 7,3 miliar dollar AS, dibandingkan semester I-2007. Saat ini Syngenta memiliki 300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.

Rudi mengingatkan, Indonesia akan semakin bergantung pada pangan impor. ”Apabila sewaktu-waktu terjadi gejolak pangan impor di tengah sektor riil banyak bergantung pada bahan baku impor, hal itu akan membahayakan perekonomian nasional.

Daya saing rendah

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, tingginya ketergantungan pada pangan impor karena rendahnya daya saing dan kesiapan teknologi pertanian. Gandum, misalnya, kebutuhan terhadap komoditas ini terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum per kapita per tahun mencapai 10 kilogram. Padahal, gandum bukan komoditas unggulan negeri ini.

”Arah diversifikasi konsumsi pangan kita keliru. Salah satu sebabnya, kebijakan pemerintah yang kurang pas,” ujarnya.

Siswono mengingatkan, Indonesia tengah digiring masuk dalam perangkap pangan negara maju dan MNCs. Ironisnya, pemerintah justru memberikan jalan bagi mereka untuk ”mencengkeram” negeri ini.

Hal itu, antara lain, tampak dari dibebaskannya bea masuk impor gandum dan kedelai. Kebijakan itu, menurut Siswono, menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpikir jangka pendek.

Menanggapi ketergantungan pangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Gatot Irianto mengatakan, di tengah arus globalisasi Indonesia memang tidak bisa 100 persen mandiri. Memang ada ketergantungan, tetapi masih dalam batas yang bisa dikontrol.

Artinya bila sewaktu-waktu ada kenaikan harga pangan global, Indonesia masih bisa menyediakan pangan. Menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi.

Di bidang penelitian, kata Gatot, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Banyak varietas unggul bermutu benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, peningkatan produksi kedelai tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus bertahap.

Terkait dengan bibit unggas, sudah ada sejumlah investor yang tertarik menanamkan modal di Indonesia dalam produksi GPS dan PS. Teknologi pembibitan unggas juga terus dikembangkan. Meskipun begitu, keberadaan usaha kecil ayam kampung juga harus tetap dilestarikan agar Indonesia memiliki ketahanan pangan untuk daging ayam dan telur. (MAS/JOE)

[ Kembali ]

Kamis, 14 Agustus 2008

Kaum Muda dan Kebangkitan Bangsa

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Oleh Indra Jaya Piliang

Harga bahan bakar minyak dipastikan akan naik. Tingkat kenaikan itu bisa mencapai 30 persen. Pertaruhannya sekarang terletak pada seberapa kuat pemerintah berhadapan dengan seberapa masif gerakan antipemerintah. Karena pemerintahan jauh lebih kuat daripada rakyatnya, jawaban atas pertaruhan itu sudah selesai. Pemerintah akan terus-menerus menang, lalu rakyat hadir sebagai pecundang.

Padahal, tahun ini adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Sebuah bangsa yang hanya menjadi nomor tiga di negara sendiri, setelah bangsa Eropa dan Timur Asing telah bangkit dari keterbelakangannya lewat perjuangan dengan memanfaatkan celah-celah kebaikan dari kolonialisme sendiri: jalur pendidikan.

Kita boleh saja mengatakan kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Sebuah proklamasi bukan berarti sebuah kelahiran. Ada banyak tali-temali dalam sejarah. Pengaruh-memengaruhi, saling- silang kepentingan, serta terlebih lagi ide-ide yang terus sambung- menyambung. Atas dasar itu, kelahiran Indonesia sudah diberikan oleh napas perlawanan atas ketertindasan. Kedatangan bangsa-bangsa kolonial hanya bagian dari percepatan untuk menemukan kesejatian tujuan, yaitu kesetaraan martabat manusia.

Kaum muda adalah pengambil sikap utama. Mereka ditakdirkan lahir sebagai kekuatan oposisi. Tanpa harus paham dengan keunggulan bangsa-bangsa lain, kaum muda ini mengimajinasikan zaman baru yang ingin bebas dari penindasan.

Kapitalisme global

Kita melompat ke masa kini ketika konsumtivisme menjadi tilik sandi bagi beroperasinya kapitalisme global. Atas nama konsumtivisme itu, lahir mentalitas instan dengan gaya hidup yang melebihi penghasilan. Ketika demokrasi memantapkan tiang- tiang pancangnya, kekuasaan menjadi tujuan dan setelah itu tidak ada lagi.

Itu yang kita lihat sekarang ketika kekuasaan yang hanya menggunakan kalkulasi berdasarkan matematika untung-rugi. Kekuasaan yang terlalu yakin dengan kesimpulan-kesimpulannya, lalu membiarkan masyarakat saling memusuhi atas nama agama. Kekuasaan yang tidak mau berhemat dan asketis, apalagi bekerja-keras untuk menggerakkan bangsa ini mengejar sebuah tujuan bersama. Kekuasaan yang tidak mau dan tidak mampu menjadi pelayan bagi rakyatnya.

Sepuluh tahun Reformasi sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak banyak keberhasilan yang dicapai. Penderitaan dan pengorbanan rakyat untuk meneruskan zaman baru ini kenyataannya dibalas dengan penderitaan baru. Apa gunanya banyak diskusi ilmiah di Istana Negara, penyusunan naskah akademis di kantor-kantor pemerintah, serta berbusa-busa dalam perdebatan di Senayan kalau pada akhirnya penyelesaian atas masalah lama dilakukan dengan menggunakan cara lama pula?

Menaikkan harga BBM sungguh semudah perhitungan 1 tambah 1 sama dengan 2. Kita dipaksa percaya bahwa subsidi untuk orang-orang kaya yang punya kendaraan jauh lebih banyak daripada subsidi untuk kaum tani dan nelayan. Namun, dalam 10 tahun, kita tak pernah ditunjukkan satu petani dan nelayan miskin pun yang tiba-tiba menjadi kaya karena program pemerintah. Harga pangan global melejit naik, sementara harga dasar gabah hanya boleh naik 10 persen.

Yang kita dengar hanya parade kepikunan. Kepikunan yang bukan penyakit ketika alam dan waktu menunjukkan keperkasaannya. Namun, yang pikun di sini terdiri atas kalangan pemimpin. Mereka yang dipilih atas dasar kepercayaan, mitologi, dan harapan rakyat.

Seratus tahun kebangkitan dan 10 tahun Reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Pemimpin-pemimpin yang berganti-ganti. Sementara ketika bangsa mulai perlahan tenggelam, lalu rakyat terlebih dahulu karam dalam kubangan penderitaan, tidak lagi menjadi sumber keresahan.

Lalu, di mana kaum muda? Sebagian terjerumus dalam magnet kekuasaan. Mereka yang secara cepat menyepelekan amanat penderitaan rakyat. Kaum muda yang tidak lagi gelisah, tetapi sudah menjadi bagian dari kemapanan kekuasaan itu sendiri. Mereka yang berdiri tegap, menghormat kepada para pemimpin masing-masing, kalau perlu menjadi pagar hidup menghadapi rakyat yang gelisah.

Masihkah kita berharap pada kebangkitan bangsa? Atau inikah awal bagi kebangkrutan bangsa?

Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

[Kembali]

Perang Harus Kita Menangkan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008

Oleh Sri-Edi Swasono

Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional, 1908-2008, menggelora di media massa. Peristiwa historis-heroik ini digelar di koran-koran.

Boedi Oetomo yang berdiri tahun 1908 telah kita terima sebagai wadah awal kesadaran kolektif yang harus mendahului aksi kolektif, yang membuat pendirian Boedi Oetomo sangat bermakna (Sartono Kartodirdjo, 1994). Boedi Oetomo secara formal tidak berorientasi pada nilai-nilai politik, tetapi sebagai struktur asosiasi menciptakan ruang sosial dan arena politik, lalu terselenggara sosialisasi politik. Dari Boedi Oetomo (1908), tumbuh ideologi nasionalisme Indonesia melalui Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 (loc cit).

Douwes Dekker, yang secara pribadi menyaksikan didirikannya Boedi Oetomo, tulisannya (1913) yang mengatakan bahwa ”perlawanan terhadap kolonialisme adalah suatu kewajiban moral”, menggusarkan Pemerintah Hindia Belanda (Rosihan Anwar, 2008).

Selanjutnya kesadaran dan tekad untuk merdeka makin kukuh dengan ketegasan Soekarno dan Hatta. Mohammad Hatta dalam pleidoi (pembelaan)-nya di Pengadilan Den Haag (1928) berjudul ”Indonesia Vrij” (”Indonesia Merdeka”) menegaskan, ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain….”

Dua tahun kemudian, Soekarno pun menggugat di Pengadilan Bandung (1930), pleidoinya berjudul ”Indonesia Klaagt-Aan” (”Indonesia Menggugat”) menegaskan sebagai berikut, ”…imperialisme berbuahkan ’negeri-negeri mandat’, ’daerah pengaruh’… yang di dalam sifatnya ’menaklukkan’ negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional….”

Setelah Pemerintah Kolonial Belanda yang kejam digantikan oleh penjajahan imperialis Jepang yang bengis, ideologi nasionalisme makin berkembang. Selanjutnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memperkukuhnya, dengan penegasan platform perjuangan nasional ”Merdeka atau Mati”.

Ideologi ekonomi

UUD 1945 yang disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, pada Aturan Peralihan (Pasal II)-nya mengungkapkan pemikiran brilian para founding fathers kita, sekaligus merupakan suatu sikap waspada untuk menghindari kevakuman hukum dalam negara yang baru merdeka.

Berdasarkan UUD 1945 itu, ditentukan berlakunya ”asas bersama” (collectiviteit) dan ditinggalkannya ”asas perorangan” (individualiteit). Seluruh peraturan perundangan Kolonial, tak terkecuali Wetboek van Koophandel (KUHD) berlaku temporer, KUHD haruslah di-Pasal 33-kan.

Berlakunya asas bersama dan perlu ditinggalkannya asas perorangan berdampak sangat fundamental dalam kehidupan ekonomi nasional. Itulah sebabnya ditegaskan pada Pasal 33 UUD 1945 bahwa (ayat 1) ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” ”Usaha bersama” (mutual endeavour) dan ”asas kekeluargaan” (brotherhood, yang bukan kinship) bertumpu pada kesadaran kolektif yang kita istilahkan sebagai ”asas bersama”. Dengan demikian, itulah ideologi ekonomi nasional kita menghendaki berlakunya paham kebersamaan yang berasas kekeluargaan (mutualism and brotherhood), yang berseberangan dengan ideologi ekonomi berdasar individualisme dan liberalisme (liberalisme lahir dari ideologi perfect individual liberty yang pada hakikatnya adalah self-centeredness, menolak intervensi). Mutualism and brotherhood telah banyak dipraktikkan melalui prinsip co-ownership, co-determination, dan co-responsibility dalam keekonomian.

Sejak lama masalah ideologi ekonomi ini menjadi pembicaraan. Pada tahun 1955 dalam Simposium Dies Natalis ke-5 FE UI antara Wilopo, mantan Perdana Menteri (1951-1953) dengan Widjojo Nitisastro (masih mahasiswa tahun terakhir FE UI berusia tepat 28 tahun), perlu kita simak kembali. Antara lain dikemukakan Wilopo, dilaksanakannya liberalisme di Asia oleh bangsa-bangsa Barat berakibat sama seperti yang dilaksanakan di negeri-negeri Eropa, yaitu pengisapan manusia oleh manusia, dikuranginya kebebasan bagi yang lemah ekonominya dan terjadinya perbedaan yang mencolok dalam pemilikan dan kekayaan. Namun, akibat negatif liberalisme di negeri jajahan lebih menyedihkan. UU Agraria 1870 menimbulkan kesengsaraan luar biasa. Oleh karena itu, dasar perekonomian Indonesia terang-terangan antiliberal, bersifat kolektif, yang berbeda dengan asas individualisme.

Dalam simposium itu Widjojo menyatakan bahwa banyak pokok pikiran yang dikemukakan oleh Wilopo sepenuhnya dapat disetujuinya. Widjojo menekankan aspek-aspek fundamental suatu sistem ekonomi berdasar antiliberalisme dengan berbagai pengendalian oleh pemerintah, termasuk menghancurkan kekuatan-kekuatan monopoli dan oligopoli.

Widjojo berbeda pendapat dengan Wilopo yang dianggapnya terlalu memerhatikan masalah pemerataan pendapatan dan hanya sedikit tentang usaha meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Bagi Widjojo, pemerataan pendapatan dan peningkatan pendapatan tidak bisa dipisahkan, haruslah dilaksanakan bersama-sama.

Makin timpang

Apa yang terjadi sekarang tentulah tidak terbayangkan oleh Wilopo dan Widjojo Nitisastro saat mereka berdebat lebih setengah abad yang lalu. Keduanya boleh kecewa besar, saat ini peningkatan pendapatan tak kunjung terasakan dan pemerataan pendapatan makin timpang disertai masifnya kesengsaraan rakyat. Menurut UUD 1945, posisi rakyat adalah substansial, tetapi kenyataannya direduksi menjadi residual, hanya mendapat spill- over atau rembesan.

Akibatnya, pembangunan neoliberalistik menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Liberalisme ataupun neoliberalisme ekonomi makin mewabah, dengan mudahnya bebas masuk merambahi Indonesia. Konsensus Washington sebagai tonggak neoliberalisme dengan pasar-bebas bawaannya (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) menjadi acuan kebijaksanaan ekonomi. Betapapun Presiden Yudhoyono menegaskan sikapnya yang menolak ideologi fundamentalisme pasar, toh Menteri Negara BUMN tetap melaksanakan perintah dinasnya menjuali BUMN-BUMN strategis. Penyerahan sumber-sumber daya alam ke tangan asing telah dibiarkan menjadi brutal piracies.

Tulisan ini mengingatkan pemerintah, dengan niat ngéman (kasih sayang). Mumpung point of safe return masih ada setapak menjelang point of no return. Dampak kebijaksanaan liberal-liberalan ini akan dahsyat, pelumpuhan (disempowerment) nasional akan terjadi dan akan menimbulkan gugatan dan kegusaran rakyat.

Sangat menyedihkan melihat sikap para ekonom muda yang dengan congkak memproklamasikan adagium ilusifnya tentang the end of nation states dan the borderless world secara mentah. Bagi mereka ini (diucapkan) ”nasionalisme adalah kuno, masukkan saja ke dalam saku…”. Mengingat Douwes Dekker di atas, yang ini adalah suatu kejahatan moral (juga kejahatan politik) in optima forma.

Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional bisa menjadi suatu lelucon yang tak lucu. Pesan-pesan UUD 1945 dikalahkan oleh John Perkinsianisme dan Rasputinisme, dikalahkan oleh kurikulum dan silabus ilmu ekonomi di kampus-kampus yang tak berkutik oleh hegemoni akademik.

Wakil-wakil rakyat kita meloloskan sejumlah undang-undang yang kelewat liberal yang membentuk keterjajahan ekonomi, ibarat telah terjadi suatu silent take-over terhadap kedaulatan rakyat yang mereka wakili. Ini harus kita luruskan. Perang untuk merealisasi cita-cita nasional harus kita menangkan, in war there is no substitute for victory.

Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

[Kembali]