Minggu, 31 Agustus 2008

Politik dan Demokrasi Ekonomi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008

Oleh Ahmad Erani Yustika

Sudah sebulan ini, gempita pasar politik (political market) di Indonesia sudah dimulai. Hal itu ditandai 38 partai politik mengikuti pemilu.

Sebelumnya, telah terdapat iklan beberapa calon kandidat presiden dengan memanfaatkan banyak media. Pasar politik ini berlangsung panjang, hingga April 2009 saat dilangsungkan pemilu untuk memilih anggota legislatif. Usia pasar politik pun kian besar jika ditambah pemilihan presiden-wakil presiden yang kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran. Dengan demikian, seluruh kegiatan itu mungkin akan berakhir Oktober 2009 (saat pelantikan presiden baru).

Dalam sistem ekonomi pasar, pembukaan pasar (ekonomi) yang luas terbukti mendonorkan keragaman tawaran barang/jasa. Pertanyaannya, apakah pasar politik kali ini akan menyodorkan aneka gagasan atau platform menarik?

”Platform” ekonomi

Ada banyak aspirasi perubahan yang diinginkan rakyat. Namun, disepakati, isu ekonomi menjadi prioritas masyarakat. Kini semua pihak mengetahui, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah ada pada bidang ekonomi. Maka, kandidat/partai yang mampu memberi optimisme terhadap perbaikan ekonomi berpeluang besar untuk diterima rakyat.

Pada titik itulah, platform ekonomi menjadi simpul terpenting untuk mengaitkan partai politik dengan konstituennya melalui pasar politik. Sayang, platform ekonomi justru menjadi titik terlemah partai politik di Indonesia sehingga pasar politik gagal menjadi medium pertukaran yang efektif antara partai politik (supplier) dan rakyat (demander).

Ada banyak parpol yang menawarkan platform ekonomi, tetapi hanya satu-dua parpol yang platform-nya bisa diapresiasi. Selebihnya, platform ekonominya terjebak dalam bentuk ”orasi” yang amat normatif, tanpa ada kejelasan apa yang mau diperbuat dengan ekonomi di masa depan.

Kondisi itu bisa karena dua hal.

Pertama, partai politik tidak memiliki basis ideologi yang kuat sehingga bisa memandu dalam mendesain visi pembangunan ekonomi pada masa depan (setidaknya dalam lima tahun). Hal ini menyebabkan platform yang muncul selalu bersifat klise dan normatif.

Kedua, parpol tidak memiliki bahan baku informasi (data) akurat tentang kebutuhan nyata yang diinginkan rakyat. Implikasinya, platform ekonomi yang dijual berjarak dengan rakyat, tidak orisinal, dan normatif. Hasilnya, jumlah partai amat banyak, tetapi mandul dalam menciptakan platform ekonomi.

Demokrasi ekonomi

Saat ini topik demokrasi ekonomi amat aktual karena ada realitas ekonomi yang mencemaskan di Indonesia.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang dicapai diiringi ketimpangan pendapatan serius. Saat Orde Baru, gini rasio Indonesia berkisar pada angka 0,32. Pada tahun 2007, indeks yang mengukur ketimpangan itu (gini rasio) menjadi 0,37.

Kedua, ketimpangan kepemilikan/penguasaan lahan yang memprihatinkan, mencapai 0,7 (amat timpang). Padahal, lahan (tanah) merupakan salah satu faktor produksi paling penting dalam kegiatan ekonomi, selain modal, tenaga kerja, dan teknologi.

Ketiga, terjadi penumpukan modal pada segelintir orang. Rilis data majalah Forbes Asia akhir tahun 2007 menyebutkan, total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 27,86 miliar dollar AS (Rp 259,098 triliun). Jumlah itu ekuivalen dengan 33,93 persen APBN 2007.

Seharusnya, data-data itu menjadi bahan baku yang baik untuk menyusun platform (demokrasi) ekonomi karena sebagian besar persoalan ekonomi bersumber dari sana. Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah mendapat tempat penting dalam wacana pembangunan karena ada dua perkembangan yang berkaitan. Pertama, pengalaman historis para buruh dalam mengajukan tuntutan, lebih sering hanya mendapat janji-janji tentang kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Kedua, ada kesadaran yang meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik tidak sejalan dengan kapitalisme (Devine, 1995). Demokrasi politik yang menyertakan setiap individu dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapat ruang yang laik dalam kapitalisme karena sistem terakhir ini mengandaikan pemusatan pengambilan keputusan cuma pada segelintir pemilik kapital.

Dengan karakteristik semacam itu, proyek demokrasi ekonomi di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dalam konteks ini, ada beberapa kebijakan yang bisa dielaborasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.

Pertama, melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih menggambarkan pembagian faktor produksi yang adil.

Kedua, mencegah munculnya praktik rente ekonomi yang menyumbat peluang bagi masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi.

Ketiga, mengamalkan kebijakan land reform secara tuntas sehingga terbuka peluang bagi rakyat (petani) untuk mengakumulasi kesejahteraan.

Keempat, negara harus hadir untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat persaingan ekonomi melalui beragam skema, misalnya subsidi, pajak progresif, dan program social security.

Parpol yang bisa menyuarakan hal ini berpotensi meraup dukungan karena paralel dengan suara hati rakyat.

Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

[ Kembali ]

Indonesia Masuk "Perangkap Pangan"

Petani Hanya Jadi Buruh Tanam
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008.

Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk dalam ”perangkap pangan” atau food trap negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Bahkan, empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meskipun belum kritis, jagung, daging sapi, dan susu patut diwaspadai.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, krisis ini terjadi karena Indonesia tidak mampu mengatasi persoalan itu sejak dulu. ”Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti untuk mengurangi ketergantungan pangan impor itu, justru sebaliknya malah makin parah,” kata Rudi, Sabtu (30/8) di Surabaya.

Meningkatnya ketergantungan ketahanan pangan negeri ini pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.

Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 6,037 juta ton. Lima tahun kemudian, tahun 2005, impor gandum naik hampir 10 persen menjadi 6,589 juta ton. Tahun 2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton. Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5 persen dari total kebutuhan.

Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,15 miliar ekor (2007), tetapi super induk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/PS)-nya diimpor dari negara maju.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu. Setiap tahun 70 persen kebutuhan susu diimpor dalam bentuk skim.

Untuk jagung, produksi tahun 2008 memang surplus. Namun, peningkatan produksi itu ditunjang oleh penggunaan benih jagung hibrida. Tahun 2008, penggunaan hibrida mencapai 43 persen dari total luas tanaman jagung nasional 3,5 juta hektar. ”Kondisi jagung lebih baik karena ada progres penggunaan teknologi,” kata Rudi.

Meskipun begitu, kebutuhan benih jagung hibrida sekitar 30.100 ton per tahun itu sebagian atau 43 persen bukan berasal dari perusahaan benih nasional atau petani penangkar, tetapi diproduksi oleh perusahaan multinasional, seperti Bayer Crop dan Dupont.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan jeroan beku per tahun mencapai 64.000 ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar 600.000 ekor.

Peran negara kuat

Menanggapi situasi ketahanan pangan Indonesia, yang sangat bergantung pada impor, ahli peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, mengakui, produksi dan perdagangan pangan dunia memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Selain itu, peran perusahaan multinasional (MNCs) pun tambah kuat dan berpengaruh.

Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, negara-negara maju itu melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, menyubsidi pertanian mereka agar komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan di pasar dunia.

Konsentrasi perdagangan pada industri raksasa dunia tampak dari peran MNCs yang menguasai industri hulu sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida. Tidak hanya di hulu, di hilir pun MNCs ”menggenggam” industri hilir pertanian, antara lain dalam industri pengolahan pangan.

Guna mendukung hegemoninya di pasar komoditas pangan, perusahaan multinasional juga mengembangkan ”revolusi” ritel melalui hipermarket dan perdagangan ritel pangan di negara berkembang. Braun dalam hasil penelitiannya di International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan, total penjualan 10 perusahaan MNCs global untuk sarana produksi pertanian mencapai 40 miliar dollar AS, industri pengolahan dan perdagangan pangan 409 miliar dollar AS, dan industri pengecer 1.091 miliar dollar AS (lihat tabel).

Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya kebagian menjadi buruh tanam untuk sarana produksi yang dihasilkan MNCs. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan yang juga milik perusahaan multinasional. Selanjutnya hasil produksi itu diperdagangkan melalui perusahaan ritel, yang juga milik perusahaan multinasional, kepada konsumen, yaitu masyarakat Indonesia, termasuk petani.

Perusahaan Monsanto dari AS, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat di AS, tetapi di ratusan lokasi di dunia.

Syngenta (Swiss), mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I-2008, yakni menjadi 7,3 miliar dollar AS, dibandingkan semester I-2007. Saat ini Syngenta memiliki 300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.

Rudi mengingatkan, Indonesia akan semakin bergantung pada pangan impor. ”Apabila sewaktu-waktu terjadi gejolak pangan impor di tengah sektor riil banyak bergantung pada bahan baku impor, hal itu akan membahayakan perekonomian nasional.

Daya saing rendah

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, tingginya ketergantungan pada pangan impor karena rendahnya daya saing dan kesiapan teknologi pertanian. Gandum, misalnya, kebutuhan terhadap komoditas ini terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum per kapita per tahun mencapai 10 kilogram. Padahal, gandum bukan komoditas unggulan negeri ini.

”Arah diversifikasi konsumsi pangan kita keliru. Salah satu sebabnya, kebijakan pemerintah yang kurang pas,” ujarnya.

Siswono mengingatkan, Indonesia tengah digiring masuk dalam perangkap pangan negara maju dan MNCs. Ironisnya, pemerintah justru memberikan jalan bagi mereka untuk ”mencengkeram” negeri ini.

Hal itu, antara lain, tampak dari dibebaskannya bea masuk impor gandum dan kedelai. Kebijakan itu, menurut Siswono, menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpikir jangka pendek.

Menanggapi ketergantungan pangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Gatot Irianto mengatakan, di tengah arus globalisasi Indonesia memang tidak bisa 100 persen mandiri. Memang ada ketergantungan, tetapi masih dalam batas yang bisa dikontrol.

Artinya bila sewaktu-waktu ada kenaikan harga pangan global, Indonesia masih bisa menyediakan pangan. Menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi.

Di bidang penelitian, kata Gatot, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Banyak varietas unggul bermutu benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, peningkatan produksi kedelai tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus bertahap.

Terkait dengan bibit unggas, sudah ada sejumlah investor yang tertarik menanamkan modal di Indonesia dalam produksi GPS dan PS. Teknologi pembibitan unggas juga terus dikembangkan. Meskipun begitu, keberadaan usaha kecil ayam kampung juga harus tetap dilestarikan agar Indonesia memiliki ketahanan pangan untuk daging ayam dan telur. (MAS/JOE)

[ Kembali ]

Kamis, 14 Agustus 2008

Kaum Muda dan Kebangkitan Bangsa

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Oleh Indra Jaya Piliang

Harga bahan bakar minyak dipastikan akan naik. Tingkat kenaikan itu bisa mencapai 30 persen. Pertaruhannya sekarang terletak pada seberapa kuat pemerintah berhadapan dengan seberapa masif gerakan antipemerintah. Karena pemerintahan jauh lebih kuat daripada rakyatnya, jawaban atas pertaruhan itu sudah selesai. Pemerintah akan terus-menerus menang, lalu rakyat hadir sebagai pecundang.

Padahal, tahun ini adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Sebuah bangsa yang hanya menjadi nomor tiga di negara sendiri, setelah bangsa Eropa dan Timur Asing telah bangkit dari keterbelakangannya lewat perjuangan dengan memanfaatkan celah-celah kebaikan dari kolonialisme sendiri: jalur pendidikan.

Kita boleh saja mengatakan kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Sebuah proklamasi bukan berarti sebuah kelahiran. Ada banyak tali-temali dalam sejarah. Pengaruh-memengaruhi, saling- silang kepentingan, serta terlebih lagi ide-ide yang terus sambung- menyambung. Atas dasar itu, kelahiran Indonesia sudah diberikan oleh napas perlawanan atas ketertindasan. Kedatangan bangsa-bangsa kolonial hanya bagian dari percepatan untuk menemukan kesejatian tujuan, yaitu kesetaraan martabat manusia.

Kaum muda adalah pengambil sikap utama. Mereka ditakdirkan lahir sebagai kekuatan oposisi. Tanpa harus paham dengan keunggulan bangsa-bangsa lain, kaum muda ini mengimajinasikan zaman baru yang ingin bebas dari penindasan.

Kapitalisme global

Kita melompat ke masa kini ketika konsumtivisme menjadi tilik sandi bagi beroperasinya kapitalisme global. Atas nama konsumtivisme itu, lahir mentalitas instan dengan gaya hidup yang melebihi penghasilan. Ketika demokrasi memantapkan tiang- tiang pancangnya, kekuasaan menjadi tujuan dan setelah itu tidak ada lagi.

Itu yang kita lihat sekarang ketika kekuasaan yang hanya menggunakan kalkulasi berdasarkan matematika untung-rugi. Kekuasaan yang terlalu yakin dengan kesimpulan-kesimpulannya, lalu membiarkan masyarakat saling memusuhi atas nama agama. Kekuasaan yang tidak mau berhemat dan asketis, apalagi bekerja-keras untuk menggerakkan bangsa ini mengejar sebuah tujuan bersama. Kekuasaan yang tidak mau dan tidak mampu menjadi pelayan bagi rakyatnya.

Sepuluh tahun Reformasi sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak banyak keberhasilan yang dicapai. Penderitaan dan pengorbanan rakyat untuk meneruskan zaman baru ini kenyataannya dibalas dengan penderitaan baru. Apa gunanya banyak diskusi ilmiah di Istana Negara, penyusunan naskah akademis di kantor-kantor pemerintah, serta berbusa-busa dalam perdebatan di Senayan kalau pada akhirnya penyelesaian atas masalah lama dilakukan dengan menggunakan cara lama pula?

Menaikkan harga BBM sungguh semudah perhitungan 1 tambah 1 sama dengan 2. Kita dipaksa percaya bahwa subsidi untuk orang-orang kaya yang punya kendaraan jauh lebih banyak daripada subsidi untuk kaum tani dan nelayan. Namun, dalam 10 tahun, kita tak pernah ditunjukkan satu petani dan nelayan miskin pun yang tiba-tiba menjadi kaya karena program pemerintah. Harga pangan global melejit naik, sementara harga dasar gabah hanya boleh naik 10 persen.

Yang kita dengar hanya parade kepikunan. Kepikunan yang bukan penyakit ketika alam dan waktu menunjukkan keperkasaannya. Namun, yang pikun di sini terdiri atas kalangan pemimpin. Mereka yang dipilih atas dasar kepercayaan, mitologi, dan harapan rakyat.

Seratus tahun kebangkitan dan 10 tahun Reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Pemimpin-pemimpin yang berganti-ganti. Sementara ketika bangsa mulai perlahan tenggelam, lalu rakyat terlebih dahulu karam dalam kubangan penderitaan, tidak lagi menjadi sumber keresahan.

Lalu, di mana kaum muda? Sebagian terjerumus dalam magnet kekuasaan. Mereka yang secara cepat menyepelekan amanat penderitaan rakyat. Kaum muda yang tidak lagi gelisah, tetapi sudah menjadi bagian dari kemapanan kekuasaan itu sendiri. Mereka yang berdiri tegap, menghormat kepada para pemimpin masing-masing, kalau perlu menjadi pagar hidup menghadapi rakyat yang gelisah.

Masihkah kita berharap pada kebangkitan bangsa? Atau inikah awal bagi kebangkrutan bangsa?

Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

[Kembali]

Perang Harus Kita Menangkan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008

Oleh Sri-Edi Swasono

Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional, 1908-2008, menggelora di media massa. Peristiwa historis-heroik ini digelar di koran-koran.

Boedi Oetomo yang berdiri tahun 1908 telah kita terima sebagai wadah awal kesadaran kolektif yang harus mendahului aksi kolektif, yang membuat pendirian Boedi Oetomo sangat bermakna (Sartono Kartodirdjo, 1994). Boedi Oetomo secara formal tidak berorientasi pada nilai-nilai politik, tetapi sebagai struktur asosiasi menciptakan ruang sosial dan arena politik, lalu terselenggara sosialisasi politik. Dari Boedi Oetomo (1908), tumbuh ideologi nasionalisme Indonesia melalui Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 (loc cit).

Douwes Dekker, yang secara pribadi menyaksikan didirikannya Boedi Oetomo, tulisannya (1913) yang mengatakan bahwa ”perlawanan terhadap kolonialisme adalah suatu kewajiban moral”, menggusarkan Pemerintah Hindia Belanda (Rosihan Anwar, 2008).

Selanjutnya kesadaran dan tekad untuk merdeka makin kukuh dengan ketegasan Soekarno dan Hatta. Mohammad Hatta dalam pleidoi (pembelaan)-nya di Pengadilan Den Haag (1928) berjudul ”Indonesia Vrij” (”Indonesia Merdeka”) menegaskan, ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain….”

Dua tahun kemudian, Soekarno pun menggugat di Pengadilan Bandung (1930), pleidoinya berjudul ”Indonesia Klaagt-Aan” (”Indonesia Menggugat”) menegaskan sebagai berikut, ”…imperialisme berbuahkan ’negeri-negeri mandat’, ’daerah pengaruh’… yang di dalam sifatnya ’menaklukkan’ negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional….”

Setelah Pemerintah Kolonial Belanda yang kejam digantikan oleh penjajahan imperialis Jepang yang bengis, ideologi nasionalisme makin berkembang. Selanjutnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memperkukuhnya, dengan penegasan platform perjuangan nasional ”Merdeka atau Mati”.

Ideologi ekonomi

UUD 1945 yang disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, pada Aturan Peralihan (Pasal II)-nya mengungkapkan pemikiran brilian para founding fathers kita, sekaligus merupakan suatu sikap waspada untuk menghindari kevakuman hukum dalam negara yang baru merdeka.

Berdasarkan UUD 1945 itu, ditentukan berlakunya ”asas bersama” (collectiviteit) dan ditinggalkannya ”asas perorangan” (individualiteit). Seluruh peraturan perundangan Kolonial, tak terkecuali Wetboek van Koophandel (KUHD) berlaku temporer, KUHD haruslah di-Pasal 33-kan.

Berlakunya asas bersama dan perlu ditinggalkannya asas perorangan berdampak sangat fundamental dalam kehidupan ekonomi nasional. Itulah sebabnya ditegaskan pada Pasal 33 UUD 1945 bahwa (ayat 1) ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” ”Usaha bersama” (mutual endeavour) dan ”asas kekeluargaan” (brotherhood, yang bukan kinship) bertumpu pada kesadaran kolektif yang kita istilahkan sebagai ”asas bersama”. Dengan demikian, itulah ideologi ekonomi nasional kita menghendaki berlakunya paham kebersamaan yang berasas kekeluargaan (mutualism and brotherhood), yang berseberangan dengan ideologi ekonomi berdasar individualisme dan liberalisme (liberalisme lahir dari ideologi perfect individual liberty yang pada hakikatnya adalah self-centeredness, menolak intervensi). Mutualism and brotherhood telah banyak dipraktikkan melalui prinsip co-ownership, co-determination, dan co-responsibility dalam keekonomian.

Sejak lama masalah ideologi ekonomi ini menjadi pembicaraan. Pada tahun 1955 dalam Simposium Dies Natalis ke-5 FE UI antara Wilopo, mantan Perdana Menteri (1951-1953) dengan Widjojo Nitisastro (masih mahasiswa tahun terakhir FE UI berusia tepat 28 tahun), perlu kita simak kembali. Antara lain dikemukakan Wilopo, dilaksanakannya liberalisme di Asia oleh bangsa-bangsa Barat berakibat sama seperti yang dilaksanakan di negeri-negeri Eropa, yaitu pengisapan manusia oleh manusia, dikuranginya kebebasan bagi yang lemah ekonominya dan terjadinya perbedaan yang mencolok dalam pemilikan dan kekayaan. Namun, akibat negatif liberalisme di negeri jajahan lebih menyedihkan. UU Agraria 1870 menimbulkan kesengsaraan luar biasa. Oleh karena itu, dasar perekonomian Indonesia terang-terangan antiliberal, bersifat kolektif, yang berbeda dengan asas individualisme.

Dalam simposium itu Widjojo menyatakan bahwa banyak pokok pikiran yang dikemukakan oleh Wilopo sepenuhnya dapat disetujuinya. Widjojo menekankan aspek-aspek fundamental suatu sistem ekonomi berdasar antiliberalisme dengan berbagai pengendalian oleh pemerintah, termasuk menghancurkan kekuatan-kekuatan monopoli dan oligopoli.

Widjojo berbeda pendapat dengan Wilopo yang dianggapnya terlalu memerhatikan masalah pemerataan pendapatan dan hanya sedikit tentang usaha meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Bagi Widjojo, pemerataan pendapatan dan peningkatan pendapatan tidak bisa dipisahkan, haruslah dilaksanakan bersama-sama.

Makin timpang

Apa yang terjadi sekarang tentulah tidak terbayangkan oleh Wilopo dan Widjojo Nitisastro saat mereka berdebat lebih setengah abad yang lalu. Keduanya boleh kecewa besar, saat ini peningkatan pendapatan tak kunjung terasakan dan pemerataan pendapatan makin timpang disertai masifnya kesengsaraan rakyat. Menurut UUD 1945, posisi rakyat adalah substansial, tetapi kenyataannya direduksi menjadi residual, hanya mendapat spill- over atau rembesan.

Akibatnya, pembangunan neoliberalistik menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Liberalisme ataupun neoliberalisme ekonomi makin mewabah, dengan mudahnya bebas masuk merambahi Indonesia. Konsensus Washington sebagai tonggak neoliberalisme dengan pasar-bebas bawaannya (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) menjadi acuan kebijaksanaan ekonomi. Betapapun Presiden Yudhoyono menegaskan sikapnya yang menolak ideologi fundamentalisme pasar, toh Menteri Negara BUMN tetap melaksanakan perintah dinasnya menjuali BUMN-BUMN strategis. Penyerahan sumber-sumber daya alam ke tangan asing telah dibiarkan menjadi brutal piracies.

Tulisan ini mengingatkan pemerintah, dengan niat ngéman (kasih sayang). Mumpung point of safe return masih ada setapak menjelang point of no return. Dampak kebijaksanaan liberal-liberalan ini akan dahsyat, pelumpuhan (disempowerment) nasional akan terjadi dan akan menimbulkan gugatan dan kegusaran rakyat.

Sangat menyedihkan melihat sikap para ekonom muda yang dengan congkak memproklamasikan adagium ilusifnya tentang the end of nation states dan the borderless world secara mentah. Bagi mereka ini (diucapkan) ”nasionalisme adalah kuno, masukkan saja ke dalam saku…”. Mengingat Douwes Dekker di atas, yang ini adalah suatu kejahatan moral (juga kejahatan politik) in optima forma.

Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional bisa menjadi suatu lelucon yang tak lucu. Pesan-pesan UUD 1945 dikalahkan oleh John Perkinsianisme dan Rasputinisme, dikalahkan oleh kurikulum dan silabus ilmu ekonomi di kampus-kampus yang tak berkutik oleh hegemoni akademik.

Wakil-wakil rakyat kita meloloskan sejumlah undang-undang yang kelewat liberal yang membentuk keterjajahan ekonomi, ibarat telah terjadi suatu silent take-over terhadap kedaulatan rakyat yang mereka wakili. Ini harus kita luruskan. Perang untuk merealisasi cita-cita nasional harus kita menangkan, in war there is no substitute for victory.

Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

[Kembali]


Antara Negara dan Kewargaan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008
THOMDEAN / Kompas Images

Rikard Bagun

Pengantar Redaksi:

Menyambut peringatan 63 tahun Proklamasi Kemerdekaan dan 100 tahun Kebangkitan Nasional, harian Kompas menyelenggarakan seminar bertopik ”Keindonesiaan dan Kewarganegaraan” 17 Juli lalu di Jakarta. Hasil seminar dengan panelis Ahmad Syafi’i Ma’arif, Mochtar Mas’oed, Ignas Kleden, Mochtar Pabottingi, Moeslim Abdurrahman, dan moderator Sukardi Rinakit dirangkum dalam tiga tulisan berikut:

Konsep warga dan kewarganegaraan selalu berkaitan dengan negara. Tidak berhubungan dengan kelompok etnik, kebudayaan, bahasa, atau agama. Seorang Belanda, misalnya, bisa menjadi warga negara Indonesia setelah memenuhi semua persyaratan administratif meski secara budaya tetap Belanda.

Pembedaan antara warga yang asli dan warga bukan asli merupakan pembedaan artifisial karena warga negara tidak lagi berhubungan dengan genealogi, hubungan darah atau warga kulit, tetapi menjadi kategori yang berhubungan dengan kedaulatan negara.

Namun, pemahaman macam ini tidak merata pada masyarakat Indonesia. Masih ada yang tidak mampu membeda-bedakan atau memilah-milah pengertian maupun perilaku sebagai warga dengan pengertian sebagai anggota kelompok etnik, kebudayaan, bahasa, atau agama.

Belum kuat dan belum penuh

Kadar pemahaman, kesadaran, dan perilaku sebagai warga negara (citizen) belum kuat. Sebagai ekspresinya, wacana publik tentang bangsa dan negara atau keindonesiaan tidak begitu mencolok.

Semangat dan perilaku sebagai warga negara-bangsa yang berorientasi pada konstitusi sebagai kontrak sosial tampaknya belum penuh meski sudah 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 63 tahun kemerdekaan.

Paham dan pengertian tentang keindonesiaan tampaknya belum sampai diikat dalam semangat dan perilaku yang menempatkan diri sebagai warga negara (citizen), yang harus tunduk kepada ideologi dan konstitusi negara sebagai kontrak politik.

Sumber kerisauan tentu saja soal eksistensi bangsa-negara Indonesia. Masa depan bangsa-negara Indonesia menjadi tidak menentu jika kesadaran sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya tidak bertumbuh dan berkembang.

Eksistensi Indonesia terancam jika konstitusi tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir dan berperilaku sebagai warga bangsa. Jika konstitusi tidak digunakan sebagai ukuran bersama, proses pelapukan menuju kegagalan bernegara, failed state, pun terjadi.

Tanda-tanda kegagalan bernegara akan semakin menguat jika ideologi negara dan konstitusi sebagai kontrak sosial, yang menjamin kebhinekaan tunggal ika, hendak dibongkar atau diganti.

Lebih mencemaskan lagi, bangsa-bangsa lain sudah semakin jauh berkonsentrasi mendorong pembangunan dan kemajuan, sementara bangsa Indonesia masih terus mengutak-atik, bahkan ingin membongkar dasar negara, tanpa menyadari seluruh bangunan negara-bangsa akan roboh dan hilang.

Indonesia sebagai tenda dan rumah bersama akan ambruk dan hilang dari sejarah jika dasarnya dibongkar. Hampir seluruh sendi kehidupan menjadi rapuh, sementara kaum elite asyik dengan urusan kepentingan sendiri. Kerapuhan itu terasa kian serius karena negara-negara tetangga justru terus bergegas mengejar kemajuan di tengah era globalisasi sekarang ini.

Tanggung jawab negara

Perkembangan dan kemajuan negara- bangsa amat bergantung pada tugas dan tanggung jawab warga, tetapi terutama pemerintah yang menjadi pelaksana kedaulatan negara. Pemerintah bertugas dan bertanggung jawab melindungi segenap warga dan seluruh tanah tumpah darah. Sebagai konsekuensinya, negara yang tidak melindungi warganya yang mengalami persoalan, termasuk di sebuah negara asing, dinilai gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Jelas pula, pemerintahan yang tidak melindungi warganya yang mengalami kesulitan karena warna kulit, kebudayaan, atau agama telah mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelaksana kedaulatan negara. Dengan tugas dan tanggung jawab besar melindungi warga dari pemaksaan pihak lain, negara diberi hak khusus untuk menggunakan kekerasan. Penggunaan kekerasan secara sah menjadi hak monopoli negara.

Tidak ada lembaga atau kelompok atas nama apa pun dan untuk tujuan apa pun diperbolehkan menggunakan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan warga merupakan pelanggaran yang harus dihukum, tanpa kecuali.

Negara dapat memaksakan warga tunduk kepada hukum dan menindak warga yang tidak tunduk. Negara tidak hanya melindungi dan menjamin hak warga negara, tetapi juga memaksakan warga melaksanakan kewajibannya.

Namun, kekerasan bukan substansi kekuasaan negara karena kekuasaan bukanlah wujud fisik, tetapi sesuatu yang diaktualisasikan dalam mengelola perkembangan dan kemajuan negara. Seorang tiran pada dasarnya tidak memerintah dengan kekuasaan, tetapi hanya memerintah dengan menggunakan pemaksaan yang mengandalkan kekerasan.

Sudah menjadi keniscayaan warga dan negara harus mengetahui posisi, hak, dan kewajiban masing-masing. Perlu pengetahuan bagaimana memerintah dan diperintah. Juga diperlukan kemampuan serta keterampilan untuk memerintah dan diperintah.

Dalam proses demokrasi, warga bisa menjadi pemimpin yang diharapkan sanggup menjalankan tugas sebagai politisi, administrator, hakim, ahli hukum, dan tentara. Pendidikan menjadi penting karena menyiapkan warga yang sanggup melibatkan diri dalam urusan publik yang menyangkut tugas negara. Hanya dengan keterlibatan dalam politik, seseorang dapat bertumbuh menjadi individu yang matang dan memiliki kebajikan sebagai warga.

Sebagai manusia, warga tak hanya dituntut bekerja (labor), tetapi juga berkarya (work) dan lebih-lebih beraksi (action) sebagaimana dikatakan filsuf Hannah Arendt. Kerja adalah tindakan yang diharuskan oleh alam, seperti makan, minum, dan mempertahankan diri terhadap alam.

Karya adalah perbuatan yang diharuskan oleh suatu manfaat yang bersifat utilitarian. Sementara aksi terdiri dari perbuatan (deed) dan bahasa (speech). Perbuatan tidak diharuskan oleh apa pun, tetapi lahir dari kebebasan setiap orang.

Dengan karya, seseorang mengubah benda-benda alam menjadi benda-benda budaya, tetapi dengan perbuatan (deed) orang membentuk diri sendiri. Dengan bahasa, orang tidak hanya menjalankan fungsi komunikasi dan informasi, tetapi untuk mengidentifikasi pelaku dan perbuatannya dalam ruang publik.

Kamis, 07 Agustus 2008

Wawancara Khusus dengan Joseph Stiglitz

Dikutip dari Rubrik Eksklusif, Harian Jurnal Nasional, Jakarta, Jum'at, 17 Agt 2007

PERAIH Nobel Ekonomi 2001 berkebangsaan Amerika Serikat, Joseph E Stiglitz, bertandang ke Jakarta setelah 10 hari sebelumnya berada di Ubud, Bali.
Ekonom lulusan MIT (Massachussets Institute of Techology) ini terkenal sebagai pengeritik lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia dan WTO sebagai kepanjangan tangan Amerika.
Karena itu, Stiglitz menganjurkan kepada negara-negara berkembang bersikap lebih tegas terhadap IMF dan Bank Dunia. Juga harus tahu apa yang lebih diperlukan oleh sebagian terbesar masyarakatnya yang hidup dalam kemiskinan.
Ia mengingatkan bahwa Amerika Serikat yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya, sehingga melakukan double standards di kancah internasional. Maka, negara berkembang juga berhak memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.
Untuk kasus Indonesia, yang sedang berperang dengan korupsi, kemiskinan, dan pengangguran, Stiglitz mengingatkan bahwa "kekuatan pasar bebas" sering merugikan segmen-segmen besar masyarakat yang lemah (miskin), karena itu Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata melindungi rakyatnya.
Pada Selasa, (14/8) Stiglitz meluncurkan buku terbarunya, Making Globalization Work, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan.
Jurnal Nasional berkesempatan berbincang dengan ekonom yang sangat suka budaya Pulau Dewata ini pada Senin (13/8) malam, di kamar tempat menginapnya di Hotel Sultan Jakarta. Berikut petikannya.

1. Bagaimana Anda melihat globalisasi vis a vis negara-negara berkembang?
Berbeda antara satu negara dengan lainnya. Globalisasi berdampak bermacam-macam (mixed effects). Globalisasi bisa menjadi peluang untuk meningkatkan perekonomian dan mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Contohnya, China mampu memanfaatkan pelung dalam globalisasi.
Sebaliknya, globalisasi bisa berdampak sangat buruk yaitu menghancurkan perekonomian suatu negara dan menambah kemiskinan serta pengangguran. Contoh mismanagement globalisasi adalah negara yang terlalu cepat meliberalisasikan perdagangan dan menurunkan trade barriers, termasuk membuka pasar modal terlalu cepat. Atau bisa juga, negara yang membuka diri kepada pihak asing untuk mengolah sumber daya alamnya, namun mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.
Jadi, apakah globalisasi akan berdampak positif atau buruk sangat bergantung pada bagaimana Pemerintah me-manage globalisasi itu.

2. Apa langkah mendasar negara berkembang untuk sukses di tengah globalisasi?
Agar globalisasi berdampak positif bagi perekonomian negara berkembang, manajemen perekonomian negara perlu ditata dengan mengombinasikan kekuatan pasar dan campur tangan pemerintah untuk melindungi ekonomi domestiknya.

3. Bagaimana Prosesnya?
Ada tahapannya. Sekali lagi saya ambil contoh China yang berproses selama sekitar 20 tahun untuk memantapkan diri. China menciptakan industri baru dan pekerjaan baru, sehingga lapangan pekerjaan yang tumbuh melebihi lapangan pekerjaan yang hilang. Namun, hingga saat ini China belum meliberalisasikan pasar modal mereka, karena mereka tahu hal itu akan berefek buruk. Demikian pula India. Liberalisasi pasar modal membutuhkan waktu lebih lama dari liberalisasi perdagangan.
Indonesia dengan pertumbuhan ekonominya yang lebih lambat, dan pasar modal lebih lemah, akan membutuhkan waktu lebih lama dari China.

4. Bagaimana kombinasi intervensi pemerintah dan kekuatan pasar?
Kekuatan pasar untuk negara yang heterogen seperti Indonesia tetap menjadi pusatnya, namun intervensi perlu dilakukan pemerintah pada hal-hal tertentu, seperti reformasi agraria (land reform), pendidikan serta riset dan teknologi. Ini contoh titik-titik yang sangat penting diperankan pemerintah.

5. Dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, mengapa pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis 1997 tergolong lambat?
Indonesia memiliki masalah legacy of the past, faktor sejarah yang turun-temurun, sebut saja korupsi yang sudah mendarah daging selama puluhan dekade. History matters. Anda tidak bisa merubah sejarah dalam waktu semalam. Selain itu, investasi Indonesia terhadap pendidikan juga lebih lemah dibandingkan negara lainnya.

6. Bagaimana tatana ekonomi dunia ke depan, misalnya dalam 25 tahun mendatang?
Asia akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, juga akan tumbuh ketidaksetaraan ekonomi (growing inequality) yang semakin parah dan timpang.

7. Apakah globalisasi juga bisa memberi dampak buruk bagi negara maju?
Ya, di Amerika Serikat (AS) kebanyakan orang menjadi lebih miskin hari ini dibandingkan 30 tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi pada penduduk dengan status ekonomi atas. Pekerja tanpa keahlian di AS berkompetisi dengan pekerja tanpa keahlian di China dan India. Jika dunia menjadi total globalisasi, pekerja tanpa keahlian (unskilled workers) akan memiliki upah yang sama di seluruh dunia. Berarti upah di AS untuk pekerja tanpa keahlian akan lebih rendah dari sebelum-sebelumnya.
Bahkan, seorang programer komputer di AS hari ini harus bersaing dengan programer dari India yang menawarkan gaji yang lebih rendah. Artinya, banyak tekanan untuk menurunkan gaji.

8. Di Ubud 10 hari, Anda menikmatinya?
Ya. Ubud itu indah dan juga tenang. Saya jadi memiliki momen yang baik untuk banyak menulis. Banyak hal menarik dari keseniannya dan keragaman upacara adatnya. Boleh dibilang, saya sangat menikmatinya.

9. Kesan Anda terhadap orang Indonesia?
Satu hal khas yang saya lihat menonjol dari Indonesia dibanding negara lain adalah segi mannerism (tata kelakuan). Mereka banyak tersenyum, tertawa dan sopan. Di lain sisi, seperti yang juga ditemui penduduk negara lain dengan kebudayaan yang berbeda, hal kekhawatiran atau lainnya seperti ambisi, juga ada. Jadi, ada perbedaan sekaligus persamaan.

Jan Prince Permata

[Kembali]

Negara Kaya pun Dulu Pernah Miskin

Dikutip dari Rubrik Eksklusif, Harian Jurnal Nasional, Jakarta,Selasa, 14 Agt 2007

PERAIH Nobel Perdamaian 2006, Prof Dr Muhammad Yunus, untuk kali keempat berkunjung ke Indonesia. Kunjungannya yang kali ini kurang lebih lima hari dimanfaatkan untuk bertemu dan berdiskusi dengan antara lain, para pengusaha, pejabat publik seperti jajaran petinggi Bank Indonesia, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden M Yusuf Kalla, para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, dan sejumlah akademisi serta mahasiswa dari perguruan tinggi.
Yunus meraih penghargaan paling bergengsi di dunia tersebut atas jasa-jasanya membangun ekonomi dan sosial melalui Grameen Bank yang didirikannya pada 1 Oktober 1983. Dalam Bahasa Bangla, "grameen" berarti desa. Bank ini memberikan kredit mikro kepada kelompok miskin sejak tahun 1976. Awalnya, Yunus mengeluarkan uang sebesar US$27 dari sakunya sendiri. Lalu memberikan pinjaman kepada 42 perempuan Desa Jobra dekat Chittagong University. Uang itu digunakan untuk membantu kegiatan usaha mereka membuat furnitur berbahan dasar bambu.
Dalam kesehariannya, pria yang kerap berbusana grameen check (kemeja kotak-kotak dari tenun tradisional yang dilapis rompi dan celana panjang) ini mengatakan, dirinya bercita-cita mengentaskan kemiskinan di Banglades. Mimpi terbesarnya adalah melihat kemiskinan di dunia ini berakhir.
Bagi Yunus, obat penawar hati di kala sedih adalah pergi mengunjungi orang-orang desa, berkomunikasi dengan mereka, lalu memberikan bantuan agar rakyat miskin dapat mengubah hidupnya, keluar dari kemiskinan.
Nobel Perdamaian telah membuka aksesnya di seluruh dunia. "Kini, saya berbisik pun orang mendengar," katanya pada Jurnal Nasional. Berikut wawancara khusus Jurnal Nasional dengannya di Bandara Soekarno-Hatta sesaat sebelum dia bertolak ke Yogyakarta, Jumat (10/8) lalu.

1. Apakah Anda melihat prospek cerah bagi Indonesia dalam menciptakan stabilitas ekonomi dan politik pascakrisis moneter 1998?
Saya melihat banyak perubahan di sini. Menjadi lebih percaya diri, perekonomian bergerak dan laju pertumbuhannya membaik, yakni dapat mencapai enam persen lebih. Saya juga melihat generasi muda bekerja lebih giat dan penuh percaya diri. Perkembangan bidang politik terlihat lebih teratur. Selama kunjungan ke Indonesia kali ini, saya menyaksikan langsung Pilkada DKI Jakarta. Ini adalah langkah yang sangat penting, yakni pertama kali diadakan pemilihan gubernur secara langsung di Jakarta. Demikian pula pilkada serupa yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Jadi, saya melihat memang ada perubahan yang sangat maju.

2. Apa cara yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya di Indonesia dan negara-negara lain di Asia pada umumnya?
Masalah ini (kemiskinan) biasa terjadi. Kemiskinan tidak hanya terjadi di Asia, tapi di seluruh belahan dunia. Satu hal yang biasa dilakukan dalam mengatasi kemiskinan adalah memberikan layanan dan fasilitas yang disediakan institusi bagi kaum miskin. Sepertinya, fasilitas perbankan tak pernah tersedia bagi mereka. Kita perlu memberikan layanan finansial bagi kalangan miskin, ini adalah hal yang sangat penting.
Demikian pula bidang teknologi informasi yang umumnya hanya dapat dijangkau oleh kalangan mampu. Nah, bidang teknologi informasi ini juga seharusnya dapat menjangkau kaum miskin, sehingga mereka dapat memanfaatkan informasi dan jaringan yang ada di dalamnya.
Pada akhirnya mereka dapat mengubah hidupnya. Generasi muda harus dapat melakukan perubahan besar-besaran dalam mengatasi kemiskinan. Niscaya, jika seluruh upaya-upaya tersebut dikombinasikan, maka ini adalah cara ampuh untuk keluar dari kemiskinan. Tentunya hal-hal tersebut harus didukung oleh kondisi perekonomian yang baik seperti laju pertumbuhan tinggi, inflasi yang rendah dan lain-lain.

3. Dari mana sumber finansial itu seharusnya berasal?
Masalahnya bukan pada uang. Ada dana yang cukup di dalam suatu negara. Jika kita menyediakan layanan kredit mikro, yang dilakukan adalah menarik deposit. Seperti yang dilakukan oleh perbankan, menarik deposit dari nasabah dan meminjamkan dana tersebut kepada kaum miskin.
Kita tidak harus meminta dana besar pada pemerintah atau bahkan Bank Dunia atau donor mana pun. Kita hanya menciptakan masalah bagi diri sendiri jika melakukan hal tersebut. Nasabah yang menyetor uangnya juga bisa mendapatkan keuntungan. Uang yang mereka setor dapat memajukan bank dan uang tersebut dapat dipinjamkan kepada kaum miskin agar hidup mereka berubah. Hal tersebut harus berlangsung secara simultan.

4. Pernah diberitakan bahwa Anda mendirikan Grameen Bank karena terinspirasi kepemimpinan seorang tokoh pendiri Bangladesh Academy for Rural Development, Dr Akhtar Hameed Khan?
Kala itu Dr Khan ingin membangun sebuah koperasi. Layanan koperasi itu ditujukan kepada para petani. Dedikasi dan kesederhanaan hidupnya menginspirasi banyak orang. Itulah yang terjadi pada saya ketika menjadi seorang guru yang independen. Setiap orang dapat melakukan hal serupa seperti Dr Khan. Saya sendiri tak pernah bekerja dengan Dr Khan, tapi apa yang dilakukannya memang berdampak besar.

5. Apa kesalahan negara berkembang sehingga kemiskinanannya sulit diatasi?
Kemiskinan terjadi karena peninggalan masa lalu. Bukan karena terjadi begitu saja. Kemiskinan karena peninggalan masa lalu itu terjadi di mana-mana. Negara yang saat ini kaya sekalipun, dulunya pernah miskin. Ratusan tahun lalu, semua negara juga ditimpa kemiskinan. Tapi, sekarang ini semua itu berubah. Sebagai contoh, wabah kelaparan pernah terjadi di Irlandia dan masyarakatnya menjadi miskin. Bahkan, negara-negara seperti Prancis dan Jerman pun pernah mengalami kemiskinan di abad lalu. Jadi, masalah kemiskinan bukan hal yang aneh bagi negara-negara di Asia dan negara lainnya. Kemiskinan berpindah.
Kita memiliki masalah kemiskinan karena penjajahan selama bertahun-tahun. Sehingga kita pernah tidak berkesempatan mengendalikan negeri sendiri untuk maju. Nah, setelah merdeka kita memerlukan paket kebijakan yang benar dan institusi yang benar. Akhirnya, sebenarnya kemiskinan bukan diakibatkan oleh kaum miskin, tapi oleh peranan institusi dan kebijakan yang kurang tepat. Jadi, kita harus benahi peranan institusi dan kebijakan.

6. Faktor apakah yang paling menonjol sebagai penyebab kemiskinan, masalah politik, ekonomi atau rendahnya kemauan individu untuk maju?
Faktor yang paling utama adalah institusi (institusi keuangan, pemberi kredit, pelaku informasi teknologi). Sebagai contoh, Banglades dikenal sebagai negara yang sangat korup dan tidak bersistem politik yang baik, terlalu banyak terjadi kekerasan. Tapi, masyarakatnya bergerak meninggalkan kemiskinan. Karena institusi seperti Grameen Bank sebagai kreditor berjalan lancar, teknologi informasi tumbuh cukup baik.
Jadi, hal-hal inilah yang lebih penting untuk dilakukan daripada hal lainnya seperti menunggu sampai suatu negara memiliki pemerintahan yang bersih. Saya tidak bilang pemerintahan yang bersih itu tidak penting. Saya tegaskan, pemerintahan yang bersih itu sangat penting. Tapi, jangan tunggu sampai pemerintahan menjadi bersih dulu, baru mengatasi kemiskinan dilakukan kemudian, tidak! Sementara kita berjuang untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, kita juga harus berjuang untuk hal-hal lain secara simultan.

7. Apa cita-cita Anda waktu masih anak-anak?
Ya, seperti anak-anak pada umumnya. Saya ingin menjadi petugas pemadam kebakaran, ingin menjadi penerbang, ingin menjadi masinis. Tapi, lama-kelamaan ketika menjadi mahasiswa, saya ingin menjadi pengacara hukum. Karena saya pikir kala itu, pengacara dapat lebih berguna bagi masyarakat dibanding profesi lainnya. Tapi, kemudian cita-cita itu berubah, saya ingin menjadi ekonom. Maka saya selesaikanlah pendidikan di bidang ekonomi, lalu saya menjadi pendidik. Cita-cita terakhir saya, ingin menjadi guru yang baik.

8. Apakah menerima penghargaan Nobel Perdamaian merupakan bagian dari rencana hidup Anda? Apa rencana Anda berikutnya?
Saya tak pernah berencana mendapatkan Nobel. Tapi, memang banyak orang yang membicarakan itu 14 hingga 15 tahun terakhir. Lalu, ada spekulasi di berbagai media massa mendekati masa pemilihan Nobel Perdamaian. Dan spekulasi tahun itu adalah mungkin... Profesor Yunus yang mendapat anugerah penghargaan tersebut. Namun, saya tak pernah menyadarinya sampai orang-orang bertanya: "Anda layak untuk menerimanya, mengapa Anda tak mencalonkan diri mendapatkan Nobel?" Saya menjawab, "Saya tidak ingin melakukannya, biarlah orang lain yang menilai."
Saya melakukan sesuatu bukan untuk mengejar penghargaan, tapi untuk meraih kesuksesan dari sebuah pekerjaan yang dilakukan. Setelah meraih Nobel ini, saya akan meneruskan apa yang sudah saya kerjakan selama ini. Kini banyak hikmah yang bisa saya petik. Saya dapat bertemu dengan orang yang sebelumnya tak bisa. Banyak pintu terbuka dan setiap orang akan mendengar. Sebelumnya, jika saya berteriak sekalipun, tak ada orang mendengar. Tapi sekarang, saya hanya berbisik saja, orang pasti akan mendengar.

9. Siapa idola Anda?
Tak ada idola yang spesifik. Beberapa yang saya idolakan adalah musisi asal Banglades. Waktu kuliah dulu, saya menggemari Bob Dylan.

Sally Piri/Jurnal Nasional

[Kembali]

Dunia Semakin Memperhitungkan RI

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Sabtu, 26 Jul 2008by : Suci Dian Hayati


Posisi Indonesia di mata internasional kini semakin diperhitungkan. Terbukti dengan banyaknya undangan yang diterima Indonesia untuk ikut serta dalam pertemuan internasional guna membahas berbagai isu global. Undangan-undangan itu pun ternyata tidak sekedar mengharapkan kehadiran saja, melainkan juga untuk meminta pertimbangan, pendapat, dan masukan dari Indonesia.
Demikian dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada pers usai menerima Sekretaris Jenderal Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Angel Gurria, di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Jumat (25/7).
"Dengan diundangnya Indonesia dalam forum-forum internasional seperti di G8 plus 8 yang berlangsung di Hokkadio kemarin, menunjukkan bahwa Indonesia kini paling tidak sudah masuk radar dan telah dijadikan partner untuk membahas berbagai isu global," kata SBY.
Menurut Presiden pencapaian Indonesia tersebut haruslah disyukuri secara bersama-sama sebagai keberhasilan atas kerja keras selama ini. Akan tetapi kata SBY, meskipun pintu dunia global telah terbuka, Indonesia harus mampu berpikir lebih bijak untuk menyeleksi seluruh tawaran kerja sama yang diajukan oleh negara lain.
"Jangan sampai kerjasama tersebut di masa mendatang alih-alih memberikan keuntungan bagi Indonesia, sebaliknya hanya akan memperburuk kondisi bangsa."
Menurut Juru Bicara Kepresidenan, Dino Patti Djalal terdapat dua agenda yang dibahas saat menerima perwakilan OECD. Pertama, hasil kajian OEDC terhadap perekonomian Indonesia. Kedua, tawaran OEDC kepada Indonesia untuk ikut serta dalam program Enlargement and Hands Program bersama dengan empat negara lainnya, yakni China, India, Afrika dan Belgia.
"Tawaran ini disampaikan oleh sejumlah negara yang berharap dapat menjalin kerjasama dengan Indonesia," kata Gurria kepada pers.
Gurria juga menilai perekonomian Indonesia telah menunjukkan kemajuan. Berdasarkan analisa data perkembangan GDP Indonesia di beberapa tahun terakhir, Gurria memprediksi ke depan Indonesia dapat mengungguli negara-negara berkembang lainnya seperti China dan India.
Menurut Gurria, adanya kemajuan di Indonesia bisa dilihat melalui perbandingan sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan tingkat perekonomian, dari tahun-tahun sebelumnya.
Menanggapi laporan OECD , SBY berharap agar pencapaian tersebut tidak hanya terjadi saat ini saja. "Laporan tersebut sangat signifikan tetapi sesungguhnya masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan," kata Presiden.
Pekerjaan tersebut diantaranya, target pengurangan tingkat kemiskinan, jumlah penganguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Suci Dian Hayati

OECD: Ekonomi Indonesia Membaik

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 25 Jul 2008 by : Yeffri Yundiarto Prahadi

Perekonomian Indonesia pascakrisis ekonomi 1997-1998 terus bertumbuh dengan tingkat rata-rata sekitar 5,25 persen sejak 2004. Kenyataan ini termuat dalam rangkuman hasil penilaian ekonomi Indonesia oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dad Pembangunan (OECD).
Meski belum setinggi negara-negara berkembang di kawasan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mengangkat standar hidup masyarakat. Hal itu terlihat dari konsumsi masyarakat yang terus menunjukkan tren meningkat.
OECD menyebutkan, investasi mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan meskipun masih rendah bila dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Kinerja ekspor masih baik dengan ditopang kenaikan harga komoditas.
“Momentum perekonomian untuk ekspansi ada di tahun 2008-2009 dengan pertumbuhan di atas 6 persen per tahun,” kata Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria di Jakarta, Kamis (24/7).
Ia menyarankan pemerintah mendorong percepatan ekonomi untuk mengurangi angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia tergolong tinggi yaitu 34,96 juta orang sampai Maret 2008. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas harus dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Salah satu caranya adalah mendorong masuknya investasi baru, baik lokal maupun asing. Investasi menjadi senjata ampuh China dan India dalam mempercepat pertumbuhan ekonominya. Namun, minimnya infrastruktur menjadi penghambat utama masuknya investasi baru.
Gurria mengatakan, pemerintah harus memiliki kebijakan fiskal yang jelas untuk meningkatkan belanja modal khusus untuk pembangunan infrastruktur penting, seperti jalan, Bandar udara, pelabuhan, sarana air bersih, dan pembangkit energi listrik. Pemerintah harus melibatkan swasta dalam pembangunan infrastruktur.
“Regulasi yang mengurangi ketidakpastian harus dikurangi terutama yang terkait dengan harga. Adanya subsidi membuat investor sulit mengukur tingkat pengembalian suatu proyek infrastruktur,” ujar dia.
Program otonomi daerah seharusnya mendorong pemerintah daerah memajukan wilayahnya. Layanan investasi di satu pintu, mulai dari pendaftaran, perizinan, dan lainnya, akan memudahkan investor menanamkan dananya. Pemerintah pusat maupun daerah harus terus berupaya menyederhanakan regulasi usaha di daerah agar iklim investasi kondusif.

Melambat
Kepala Ekonom Bank Mandiri Tbk Martin Panggabean menyarankan pemerintah mewaspadai perlambatan ekonomi seiring melambatnya perekonomian global. Inflasi yang tinggi juga akan menekan perekonomian bila Bank Indonesia terus menaikkan suku bunga acuan (BI rate).
Menurut dia, perlambatan ekonomi dapat ditekan dengan menggenjot ekspor seiring kenaikan harga komoditas dunia, seperti minyak sawit mentah, kertas (pulp), dan karet. Pemerintah harus segera memperluas pasar ekspor dan tidak bergantung kepada negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat.

[Kembali]

9 Pertanyaan untuk Kishore Mahbubani: "Kebangkitan Asia Menakjubkan"

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Selasa, 05 Agt 2008
by : Rizky Andriati Pohan


ASIA akan kembali merebut kebangkitannya, cepat atau lambat. Demikian kesimpulan yang disampaikan Kishore Mahbubani, mantan Diplomat Singapura yang lebih dari 30 tahun menyelami dunia diplomasi. Selain mengajar dan menjadi Dekan di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Kishore aktif menulis berbagai artikel di sejumlah media internasional seperti Foreign Affair, Foreign Policy, The Washington Quarterly, Time, Newsweek, dan New York Times.
Dia juga menulis sejumlah buku antara lain; The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Power to the East, Can Asians Think? Understanding the Divide Between East and West, Beyond the Age of Innocence: Rebuilding Trust between America and the World. Berikut pandangan dan analisis Kishore yang disampaikannya saat datang ke Jakarta beberapa waktu lalu.

1.Bagaimana penjelasan Anda mengenai kebangkitan Asia?
Saya lahir dan besar di Singapura. Singapura sendiri baru merdeka pada 1965. Ketika itu kondisi Singapura tak ubahnya seperti Ghana. Kemiskinan di mana-mana. Tetapi, Singapura terus berkembang seperti sekarang ini. Banyak negara Asia yang mengalami cerita seperti ini. Saya percaya Asia akan menjadi pahlawan dan cerita kepahlawanan tentang dominasi Barat akan berakhir. Tetapi, bukan berarti Barat akan runtuh. Barat tetap memiliki dan menjadi peradaban besar.
China dan India pernah memiliki sejarah dan peradaban besar. Sejak abad pertama hingga 1820, perekonomian terbesar dipegang China dan India. Indonesia juga pernah memiliki imperialisme besar pada masa Sriwijaya dan Majapahit. Dengan kesuksesan masa lalu, kebangkitan Asia akan segera kembali. Memang banyak orang Asia yang tidak percaya bahwa Asia akan besar dan bangkit. Sebenarnya kita pernah melewati kebangkitan itu dan bisa mengembalikannya. Goldman Sachs memprediksi pada 2050 China, India, Amerika, dan Jepang, akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Kita bisa melihat bahwa tiga negara tersebut merupakan negara Asia.
Asia melakukan banyak perubahan dan perubahan yang terjadi begitu menakjubkan. Apa yang dialami Asia saat ini tak berbeda ketika Barat mengalami revolusi industri. Pada masa itu Barat mengalami peningkatan kesejahteraan mencapai 50 persen. Namun, apa yang terjadi, saat ini peningkatan kesejahteraan di Asia melampaui Barat, mencapai seribu persen. Angka itu besar sekali. Hal ini benar-benar terjadi dan harus selalu diingat. Asia tidak pernah menunggu untuk belajar. Asia belajar dengan cepat.

2. Apa yang membuat Asia bangkit?
Karena Asia mengadopsi yang saya sebut tujuh pilar kebijaksanaan Barat. Pertama, pasar bebas. China adalah negara yang sangat sukses menerapkan pasar bebas. Karena pasar bebas, China berkembang begitu pesat dalam 30 tahun terakhir. Kedua, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Eropa bisa menjadi penjelajah dan menjajah banyak bangsa karena mereka berhasil menguasai teknologi. Yang menakjubkan saat ini, Asia menguasai teknologi. Sekitar 85-90 persen teknisi di dunia ini adalah orang Asia. Di universitas Amerika, kebanyakan penerima gelar Phd adalah orang Asia. Mereka bernama Tan, Wang atau Khapoor. Hanya satu atau dua orang saja yang memiliki nama Anglo Saxon, semisal David. Ini adalah ilustrasi yang terjadi saat ini, sekaligus kekuatan Asia.
Ketiga, pragmatisme. Konsepnya kucing putih ataupun kucing hitam sama saja, mereka semua adalah kucing. China adalah salah satu negara Asia yang pragmatik. China sendiri menjadi pragmatik setelah melihat India. China berinvestasi di sebuah negara tanpa melihat ideologi negara tersebut. Jepang pun sudah melakukan itu puluhan tahun lalu. Keempat, mitokrasi atau pencarian talenta dari berbagai lapisan masyarakat. Brasil adalah salah satu negara yang secara konsisten menjadi pemenang bola, meski perekonomiannya biasa-biasa saja. Hal ini terjadi karena mereka mencari bakat-bakat pemain bola di 200 juta rakyatnya, dari berbagai lapisan, dari yang terendah, menengah, dan teratas.
Asia melakukan hal itu. Sedangkan Barat tidak. India adalah negara Asia yang menerapkan konsep mitokrasi. Sejak ribuan tahun lalu, masyarakat India terbagi atas berbagai kasta. Dengan reformasi besar-besaran dan revolusi sosial, India mengalami banyak perubahan dan semua orang bisa pergi ke sekolah. Orang pintar di India bisa ditemukan dari berbagai kalangan. Kelima, budaya damai. Keenam, penegakan hukum. Ketujuh, pendidikan. Asia merupakan gudang jutaan otak yang belum dipakai. Satu-satunya cara untuk memanfaatkan itu adalah menegakkan pendidikan dan mendirikan sekolah serta universitas. China berkembang karena menginvestasi banyak uang di bidang pendidikan. Kota Guangzhou merupakan kota terkecil di China dan tentu saja di dunia. Namun, kota itu merupakan kota satelit universitas. Sekitar 30 juta orang di China mendapatkan Phd setiap tahun. Bila melihat Amerika, puluhan juta orang India dan China datang ke Amerika untuk sekolah dan mereka kembali ke negara masing-masing setelah lulus.

3. Orang tua Anda berimigrasi dari India ke Singapura, bagaimana masa kecil Anda sebagai anak imigran?
Sejujurnya saya melewati masa lalu yang berat saat masih anak-anak. Ketika saya berusia enam tahun saat masuk sekolah pertama kali, pihak sekolah menimbang berat badan saya dan ternyata saya mengalami gizi buruk. Karena keluarga saya sangat miskin. Bahkan, kami harus menerima jaminan kesejahteran dari pemerintah. Namun, cek kesejahteraan itu tidak cukup.
Ketika itu saya mengikuti program pengayaan nutrisi di sekolah. Saya datang ke kantor kepala sekolah untuk menerima paket susu. Kepala sekolah mengambil sesendok susu dari sebuah baskom dan menyuapi kepada anak yang mengalami kekurangan gizi. Saat itu Singapura masih mengalami kemiskinan. Kenyataannya saat ini Singapura berhasil menghapuskan kemiskinan dan hal ini sangat mengagumkan.

4. Konon ayah Anda juga pernah dipenjara?
Ayah saya dipenjara karena sering mabuk-mabukan dan berjudi. Tetapi, hubungan saya dengan orang tua tetap baik. Ibu dan ayah saya sudah meninggal. Poin terpenting dari masa anak-anak saya adalah apa pun hambatan yang dihadapi seorang anak pada masa kecil, dia masih bisa sukses dengan pendidikan dan beasiswa. Saya beruntung karena bisa mendapatkan beasiswa. Itulah mengapa saya sukses.

5. Anda belajar filsafat di kampus, tetapi kemudian menjadi Diplomat. Apakah itu sebuah ‘kecelakaan'?
Bukan ‘kecelakaan', tetapi semua itu terjadi karena saya mendapatkan beasiswa dari pemerintah yang mengikat saya. Ketika itu saya diminta untuk bekerja di kementerian luar negeri. Saya menerimanya dan mengatakan akan bekerja di sana selama dua tahun. Tetapi, kenyataannya saya bekerja di kementerian luar negeri selama sekitar 33 tahun. Dari sana, saya mengetahui bahwa dunia diplomasi sangat menarik dan menantang. Saya pun belajar untuk mencintainya. Sekarang ini saya bisa menulis banyak buku karena belajar banyak dari karier diplomatik.

6. Bagaimana dengan ilmu filsafat yang Anda pelajari di bangku kuliah?
Saya sangat menikmati ilmu filsafat. Karena di dunia filsafat, Anda bisa menanyakan pertanyaan tentang semua hal. Anda menganalisis semua hipotesis. Dan saya rasa cara belajar terbaik adalah dengan mempertanyakan dan menganalisis semua hipotesis. Anda tidak boleh menerima semua hal sebagai sebuah kebenaran. Tetapi, Anda harus benar-benar menganalisisnya.
Apa pun yang dikatakan orang lain, Anda harus mengatakan, mengapa? Mengapa Anda berpikir seperti itu? Karena bahkan negara besar pun pernah melakukan kesalahan besar. Kita harus belajar dari kesalahan orang lain. Saya rasa belajar filsafat mendorong kita untuk bisa melakukan hal itu dan membuka pikiran kita dengan segala kemungkinan. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia ini, kita harus membuka pikiran dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
7. Apa yang Anda lakukan saat luang?
Menulis buku. Hobi saya adalah menulis buku dan artikel, lalu mempublikasikannya. Setiap akhir pekan, saya selalu habiskan waktu untuk menulis. Saya juga bermain golf. Golf sangat penting. Golf merupakan satu alasan mengapa kawasan Asia Tenggara selalu hidup dalam kedamaian dan keharmonisan. Karena semua jenderal di negara-negara Asia Tenggara sibuk berkompetisi di lapangan golf. Mereka tidak memiliki waktu untuk berperang dan saling mengangkat senjata. Inilah yang terjadi di Asia.

8. Anda pernah bermain golf di Indonesia?
Ya, di beberapa tempat seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Golf di Indonesia sangat menyenangkan dan luar biasa. Indonesia memiliki banyak lapangan golf yang bagus, pemungut bola yang profesional dan orang-orang yang sangat ramah.

9. Saat ini apa harapan terbesar Anda?
Saya ingin mencoba dan melihat apakah saya bisa membantu menjadikan dunia lebih baik. Saya selalu mengatakan bahwa Asia sedang mengalami kebangkitan karena saya ingin negara-negara Asia meniru lebih banyak negara Asia lain yang sudah baik. Meniru itu baik. Jangan pernah berpikir bahwa meniru itu buruk. Maka tirulah hal-hal positif yang sudah dilakukan negara lain. Mengapa China bisa sukses? Mengapa tidak meniru apa yang sudah dilakukan China? Saya mendorong lebih banyak negara Asia untuk mempelajari kesuksesan negara lain.

Indonesia Tak Punya Manajemen Demokrasi yang Baik

Demokrasi
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 7 Agustus 2008 00:52 WIB


Bandung, Kompas - Demokrasi di Indonesia belum menjadi berkah bagi kemajuan kehidupan rakyat, bahkan justru menambah beban mereka. Hal itu bukan dikarenakan sistem yang salah, melainkan manajemen demokrasi yang tidak baik.
Hal itu diungkapkan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam diskusi terbatas di Grha Kompas Gramedia, Bandung, pada Selasa (5/8) malam.
Peserta yang hadir ialah para pengamat politik, akademisi, aktivis partai politik, dan penggiat demokrasi di Kota Bandung, antara lain Tjetje Hidayat Padmadinata, Dede Mariana, Asep Warlan Yusuf, Upa Sapari, dan Kang Acil dari Bandung Spirit.
Eep menuturkan, selama sepuluh tahun reformasi, demokrasi berjalan tanpa manajemen yang baik. Akibat yang timbul antara lain ialah biaya demokrasi yang mahal dan ketidakmampuan demokrasi memenuhi hak rakyat.
”Bayangkan saja, dalam setahun, rakyat bisa mengikuti hampir sebelas kali coblosan pemilu, yakni mulai dari pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, legislatif tingkat satu dan dua, lalu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan Presiden,” ujar Eep. Indonesia, kata Eep, rata-rata mengadakan pemilu sepuluh kali dalam sebulan.
Rakyat di satu sisi telah jenuh dan letih menghadapi proses demokrasi yang berlarut-larut, sementara mereka tidak merasakan dampak positif dari penyelenggaraan itu. Kualitas pemilu yang buruk, lanjut Eep, disebabkan oleh tugas Komisi Pemilihan Umum yang makin berat karena KPU kini mengurusi pula pemilihan kepala daerah. ”Wewenang KPU besar, tapi kompetensi mereka masih kecil,” kata Eep.
Muda soal ideologis
Mengenai isu generasi tua dan muda dalam Pemilu 2009, Eep mengungkapkan bahwa usia bukan menjadi jaminan. ”Muda bukan soal biologis, tetapi soal ideologis,” ujarnya. Akan menjadi sia-sia apabila pemimpin berusia muda tampil dengan membawa pandangan-pandangan yang lama.
Meski demikian, Eep menilai demokrasi Indonesia akan kembali memiliki harapan jika yang muncul dari Pemilu 2009 adalah para pembaru dari politisi generasi kedua reformasi. ”Selama ini generasi kedua tidak bisa muncul karena sistem yang tidak mendukung,” ujarnya.
Tjetje Hidayat mengungkapkan, kualitas legislatif terpilih pada Pemilu 2009 nantinya tidak bisa diharapkan karena ada permainan uang di balik pencalonan. Siapa pun calon yang memiliki uang, kata Tjetje, bisa menempati nomor urut teratas.
Praktik tersebut lazim berjalan di dalam mekanisme internal partai politik. ”Saya mungkin akan golput saat memilih calon legislatif karena sudah tahu kebobrokan mekanismenya,” ujar Tjetje.
Adapun solusi untuk buruknya manajemen demokrasi, kata Asep Warlan Yusuf, ialah dengan menyiapkan desain yang jelas tentang arah kehidupan bernegara.(REK)

Senin, 04 Agustus 2008

RI Moving Forward under Crisis

INDONESIAN RISING
Culture of solidarity and mutual cooperation, called gotong royong, supported Indonesian people to deal with any difficulty.
by: Wahyudi Marhaen Pratopo ES, Jurnal Nasional, Jakarta, Monday, August 04, 2008.

The top of McKinley Mountain at 20,320 feet (6,193 meters) became witness of young Indonesian spirit. On Monday, July 9, two Indonesians wrote a history by putting Red and White flag at the top of McKinley in Alaska, United States. They were Pungkas Tri Baruno and Hartman Nugraha, members of Indonesia Bud Expedition to McKinley Alaska and Vinson Massif Antarctica 2008.
Conquering the highest mountain in North America was not an easy job. Members of Indonesia Bud Expedition had to fight against cold weather of the icy mountain. Only two of seven members of the team could reach McKinley’s peak. They needed 18 days to reach the top with many barriers. Pungkas Tri Baruno, one of the expedition members, collapsed on the way down. He was found died at 17,200 feet (5,242 meters).
The tragedy would not stop the Indonesian Bud Expedition to climb Vinson Massive Mountain in Antarctica. “The team is still evaluating the expedition,” said Septembri Yanti, spokesperson of the National Scouting Movement, Pramuka. The scouting organization sponsored the expedition to McKinley and Vinson Massif.
State Minister of Youth and Sports Adhyaksa Dault said, “Pungkas is symbol of spirit of Indonesian youngsters who are not easy to surrender.” To remember the spirit, Adhyaksa will use name of Pungkas Tri Baruno for a library at his office.
Beside Pungkas dan Hartman, there are many other Indonesians who can reach top achievement in various fields. Anies Baswedan, President of Paramadina University Jakarta, is one of top 100 public intellectual in the world, according to the American magazine Foreign Policy. He takes the same position as other world intellectual, including many famous names such as Italian novelist Umberto Eco, former United States Vice President Al Gore, former Singapore Prime Minister Lee Kuan Yew, and Peace Nobel laureate Muhammad Yunus.
In sports, several Indonesian athletes take world championship, such as Chrisjon in boxing, Eko Yuli Irawan in weightlifting, Nova Widianto/Liliana Nasir and Markis Kido/Hendra Setiawan in badminton.
A number of Indonesian students reach gold, silver, and bronze medal in Olympiad of science, mathematic, biology, chemistry, and astronomy. Last month, the Indonesian team got one gold medal, four silver medals, five bronze medals, and two honorable mention awards in the Science Olympiad in Madrid, Spain. Indonesia sits at 36th rank of 97 participant countries.
Success is not a monopoly for youngsters. Many people succeeded to handle difficulties as impact of 1998 financial crisis. Aceh residents have awaked from disaster of tsunami, so do Yogyakarta residents whom rocked by earthquake.
A group of women in Bantul, Yogyakarta, developed home industry by producing various snacks. They can run local economy which paralyzed after the earthquake disaster. Other villagers in Bantul collect rice in rice barn to anticipate food crisis.
As a nation, Indonesia has aroused from multidimensional crisis. After financial and political crisis ousted President Suharto from power in 1998, Indonesia has to surpass transitional period to democracy. The country also faces economic difficulties caused by global energy and food crisis.
Presidential Spokesperson Dino Patti Djalal said, Indonesian always has a great human spirit to pass various challenges, since colonial era, struggle for independent, until present crisis. “The point is, that the more we face crisis, more trial, and turbulence, Indonesian become more resilience and stronger. That is our main asset, a spirit to be better, to do better.”
Anthropologist PM Laksono from Gadjah Mada University Yogyakarta said, culture of solidarity and mutual cooperation, called gotong royong, supported Indonesian people to deal with any difficulty. “Standing hand in hand will strengthen people to finish various problems of the nation,” Laksono told Jurnal Nasional in Yogyakarta.
He hopes the government can build an effective bureaucracy which works seriously with outcome oriented. “It must be reminded that people are struggling, not seeing them just as a mass.”
Denny Indrayana, Chairman of Center for Anticorruption Study, Faculty of Law, Gadjah Mada University, stated that corruption eradication is an important effort to build a better Indonesia. "The spread of corruption in Indonesia needs removal surgery. This is always an analogy for corruption that I really like. It is truly portrays the fact that the God Father needs to be caught."
According to Indrayana, Indonesia needs to complete five primary pillar to fight against corruption. The five pillars are anticorruption constitution, asset recovery constitution, corruption eradication commission, special court for corruption case, and witness protection agency.
In the future, Indrayana is optimistic that the five pillars supported by the people can help the nation from suffering because of the deadly disease, corruption.

Wahyudi M Pratopo/Much Fatchurochman/Syifa Amori

More Turbulence Makes Stronger

INDONESIA RISING
Jakarta Jurnal Nasional, Senin, 04 Agt 2008
by : Wahyudi Marhaen Pratopo ES

The spirit of Indonesian has proved that the nation can solve any challenge since colonial era, struggle for independence, until present economic and energy crises.
Presidential Spokesperson Dino Patti Djalal shared his optimistic view with Wahyudi M Pratopo and Yanuar Jatnika from Jurnal Nasional about the capability of Indonesian people to transform to be better. Here is the excerpt.

In the commemoration of 100 years of national awakening, the government determined “Indonesia Can” as the theme. Can you explain about it?
Talking about awakening, we talk about a spirit. In 1908 when national awaked, there was a new spirit, a different spirit, that at first we can be a nation from a number of ethnic groups. So we can be great nation just like other nation in the world. There was optimistic spirit to change our destiny.
The second meaning, there must be a quality. We can not build our nation if we are burdened or inhibited by cynicism or by negative energy. We must be driven by a can do spirit, can do-ism, a positive energy. You look at all other country in the world, how they reinvented themselves. It started with positive energy. You can look China under Den Xiao Ping or India under Manmohan Singh, Japan under Meiji Restoration. Finland also, after they collapsed, they reinvented by producing Nokia and building IT-based industry. They all start because something difference, and we can do it.
Unfortunately, now in Indonesia, if you look in media, or rhetoric of the politician, there are too much cynicisms, too much people mourned themselves. Believe me, you can not reinvent Indonesia and make Indonesia great nation with culture of cynicism. So, that’s why, team of “Indonesia Bisa” is a powerful one.

What the main capital of this nation so we can be very optimistic?
I think Indonesian always has a great human spirit. You look at how we could be independent. It was one of the most epic and romantic revolution in twenty century. We gain our independence with bloods, tears, and sweats. We show the world we have great spirit to be independent, and then to face turbulence. The point is, that the more we face crisis, more trial, and turbulence, Indonesian become more resilience and stronger. That is our main asset, a spirit to be better, to do better. We want to work hard and transform ourselves to be better.
Many people acknowledged Indonesia’s progress in political sector and democracy, but not for economy.
I disagree with that, because you can look at the indicators. Just now, Secretary General of OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) Angel Guerea met President. In a press conference, he said, “I am surprise in Indonesia that can growth at 6,1-6,2 percent. It is the highest among developing countries which growth around 2 percent at average.”
Our export now is the highest in industry, over US$100 billion. Our debt to GDP ratio is the lowest in history. Our foreign reserve is the highest ever. I think we are now one of the top twenty economies in the world. Our GDP is the highest ever and our GDP per capita also the highest ever. Our stock market is top three performing in Asia. We paid loan to IMF in four years as schedule and we are confidence to disband CGI, the Consultative Group on Indonesia.
We have to think that economically we are doing well. But there is a factor of global economy, factor that beyond our control, that is energy price. Other economy in the world slows down. So, our economy does better and better, but there is international factor that is very difficult.

How about the political sector?
I think our democracy has been said as model of democracy. Why, because we have two election, national and local election. Since 2004, local governments have been transformed because governors and regents or mayors were elected directly. So, democracy is not only at national level but democracy is penetrating into the grass root level in provinces.
Beyond that, in Indonesia democracy, Islam, and modernity go hand in hand together very well. It is our way of life. So, politically we do well. But, the big challenge is to connect democracy and good governance. And also combining democracy and maturity of our society, it is another challenge.

What do you think about leadership in Indonesia, not only executive but also parliament and others?
First, SBY is exceptional leader. He is one of the best presidents in Indonesia. I was with him when he run the government and cabinet, and he is a capable administrator and political leader. But SBY is unable to change Indonesia unless there are also good leaders in all layer, such as in parliament, cabinet, local government, religious leader, civil society, and military. If there is quality leader in each sector, then Indonesia will change.

Do you think other leaders back up the President?
They don’t necessarily need to back up the President, but the need to show leadership quality in their respective sector. Unfortunately, leadership in our culture society is not grown. So, it is difficult to grow a strong leadership culture. We have strong leaders but they don’t grow in a systematic effort. I hope we can see leadership culture emerging in Indonesia.

You have a lot of international experience. Is there any country which has similar problem with Indonesia?
I Think India. Mexico is also close. India is long democracy country and India is multiethnic and has large of population. India also has legacy of colonialism, but it also fights to eradicate poverty. India also faces ethnic conflict, religious issues, and problem of decentralization. So, democratic partnership between India and Indonesia is very important. Sharing experience with India is more relevant than with other countries.

[Kembali]

Demokrasi Belum Dapat Memberikan Kesejahteraan

Dikutip dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008, halaman 02.
Semarang, Kompas - Demokrasi yang saat ini berlaku di Indonesia hanya berhasil pada tataran proses dan masih belum mampu memberikan manfaat yang substantif, yaitu membaiknya kesejahteraan rakyat.
Demikian disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Warsito pada Temu Akbar Alumni dan Dies Natalis Ke-42 FISIP Undip, Minggu (3/8) di Semarang, Jawa Tengah. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X juga menghadiri acara itu.
Oleh karena demokrasi belum mampu menyejahterakan rakyat, lanjut Warsito, terjadi fenomena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. ”Hal itu bisa dilihat dari semakin tingginya angka golongan putih (golput atau orang yang sengaja tak menggunakan hak pilihnya) dalam pemilihan kepala daerah,” ucap Warsito.
Jika terus seperti itu, Warsito menuturkan, dalam proses demokrasi yang terus berkembang di Indonesia, dimungkinkan untuk memunculkan sikap apatis dari rakyat. Bahkan, bisa memicu naiknya penguasa yang bersikap otoritarian.
Sejak reformasi bergulir, Warsito menambahkan, hingga kini Indonesia belum memiliki sistem nilai penyelenggaraan pemerintahan yang mapan. ”Nilai lama mulai dilepaskan, tetapi nilai baru belum terbentuk,” tuturnya.
Strategi kebudayaan
Sebaliknya, Sultan HB X menegaskan, tidak ada jalan lain untuk membangun sebuah kultur demokratis di Indonesia selain dengan menggelar strategi kebudayaan. ”Konkretnya, membangun sistem pendidikan yang menjadi prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual,” kata dia.
Sistem pendidikan ini, lanjut Sultan HB X, berfokus pada penciptaan individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. ”Otonom di sini bukan berarti egosentris dari pemerintahan yang ada,” ucapnya.
Menurut Sultan, dalam kehidupan politik sehari-hari, biaya dan manfaat tidak selalu hadir dalam bentuk fisik dan material, tetapi juga dapat diurai dalam bentuk nilai simbolik, seperti kepercayaan, stabilitas, solidaritas, serta loyalitas.
Sultan HB X juga menuturkan, kondisi negara sekarang ini membutuhkan prioritas untuk dilakukan perbaikan pada aspek seperti penyediaan pangan, pendidikan, dan kesehatan. ”Hal itu adalah faktor utama untuk membangun bangsa,” ucapnya. Tanpa itu, rakyat bisa semakin tak percaya pada demokrasi. (ilo)

[Kembali]

Indonesia Kembali dalam "Radar Screen"

ANALISIS EKONOMI
Oleh MUHAMMAD CHATIB BASRI
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008 halaman 01.


Ada suatu masa ketika kita begitu galau akan lemahnya sisi permintaan, daya beli, dan daya dorong perekonomian. Data empiris menunjukkan, identifikasi itu tak sepenuhnya benar.
Melihat pertumbuhan konsumsi selama 10 tahun terakhir, sulit bagi kita membuktikan argumen tentang lemahnya daya beli. Kalau begitu, di mana masalah kita? Di sini pentingnya membaca laporan Economic Assessment of Indonesia 2008 yang diluncurkan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) minggu lalu. Hal yang positif, Indonesia masuk kelompok ”negara-negara dengan keterlibatan yang ditingkatkan” atau enhanced engagement countries, bersama Brasil, India, China, dan Afrika Selatan. Indonesia kembali dalam radar screen.
Di sisi lain, laporan ini juga mengandung pesan: problem kita yang utama adalah sisi penawaran. Problem yang utama bukanlah daya dorong, tetapi daya dukung perekonomian.
Isu klasik yang disalahkan: iklim investasi, terutama di sektor industri manufaktur dan pertambangan. Kalau benar lemahnya investasi disebabkan oleh buruknya iklim investasi, mengapa hal yang sama terjadi di Malaysia, Thailand, dan Jepang? Bukankah ketiga negara itu iklim investasinya lebih baik?
Lebih menarik: ternyata rasio investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) di Malaysia (21 persen) lebih rendah dibanding Indonesia (24 persen). Padahal, iklim investasi Malaysia lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, China, atau India. Karena itu, kita tak bisa melihat iklim investasi sebagai penjelas utama. Iklim investasi hanya sebuah syarat perlu, bukan syarat cukup.
Selama ini, kita begitu percaya pada mantra bahwa penurunan investasi yang utama adalah investasi asing. Penghitungan dekomposisi Bank Dunia (2007) justru bicara sebaliknya: penurunan investasi di Indonesia, Korea, dan Malaysia ternyata didominasi oleh penurunan investasi swasta dan domestik.
Di Indonesia, dari 84 persen penurunan investasi swasta, 59 persen dari domestik. Dari 76 persen kontribusi penurunan investasi domestik, 17 persen dari publik, dan sisanya 59 persen dari swasta. Hal ini menarik karena soal kita lebih pada investasi domestik: baik publik maupun swasta.
Penurunan investasi swasta domestik selain disebabkan oleh iklim investasi dapat juga karena terganggunya aliran kredit (credit channel) dari perbankan ke sektor barang, yang terjadi karena problem informasi yang tak simetris antara bank dan sektor produksi sehingga menimbulkan masalah agency cost. Yang bisa dilakukan adalah memperbaiki informasi, misalnya melalui biro kredit.
Investasi domestik jelas tak terlepas dari perlunya investasi publik di dalam infrastruktur. Krisis ekonomi yang terjadi 10 tahun lalu praktis tak memungkinkan terjadi ekspansi perbaikan infrastruktur. Permintaan yang meningkat tak bisa dipenuhi karena listrik terbatas dan biaya logistik mahal. Akibatnya, daya dukung perekonomian menjadi terbatas.
Pertumbuhan ekonomi memang selalu di atas 6 persen sejak triwulan IV-2006, tetapi setiap kali akselerasi meningkat, kita cenderung menghadapi problem inflasi.
Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) menunjukkan elastisitas penyediaan listrik terhadap PDB 0,5-0,67 persen. Artinya kenaikan 1 persen penyediaan listrik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,5-0,67 persen. Artinya, untuk pertumbuhan ekonomi 7 persen dibutuhkan input berupa penjualan listrik 11-14 persen per tahun. Bandingkan dengan tingkat penggunaan listrik sekarang.
Di luar listrik, kita menghadapi buruknya infrastruktur pelabuhan dan jalanan. Yang tak kalah serius, hambatan sisi penawaran ini juga bisa membawa dampak pada kesenjangan.
Statistik industri berbicara: sebagian besar pengguna generator adalah perusahaan besar, sedangkan persentase penggunaan generator di perusahaan kecil dan menengah relatif kecil. Perusahaan kecil dan menengah lebih bergantung pada pasokan PLN. Hal ini logis karena penyediaan generator atau pembelian listrik dari perusahaan lain membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Artinya, hambatan daya dukung tak hanya mengganggu pertumbuhan, tetapi juga membebani usaha kecil dan menengah.
Hambatan sisi penawaran juga tecermin dari pasar tenaga kerja yang kaku sehingga daya serap menjadi terbatas. Kekakuan ini yang menjelaskan mengapa elastisitas permintaan tenaga kerja Indonesia menurun.
Jika elastisitas peningkatan tenaga kerja 200.000-300.000 untuk 1 persen pertumbuhan ekonomi, untuk menyerap tenaga kerja baru dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen.
Jelas, ini tak mungkin segera tercapai. Yang bisa dilakukan adalah meningkatkan elastisitas penyerapan tenaga kerja kembali menjadi 400.000, bahkan lebih. Caranya? Kurangi kekakuan pasar tenaga kerja.
Agak ironis sebenarnya karena sampai paruh pertama 2008 masih terlihat kuatnya permintaan: penjualan sepeda motor, mobil, ritel, dan pertumbuhan PPN. Impor barang modal juga meningkat, pertanda perusahaan melakukan ekspansi. Namun, jika daya dukung terbatas karena listrik serta jalan dan pelabuhan tak memadai, pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
OECD tampaknya mempunyai kegalauan yang sama tentang soal itu. Kegalauan soal lemahnya sisi penawaran.

Muhammad Chatib Basri
Pengamat Ekonomi