Kamis, 31 Juli 2008

Pengusaha Taiwan Relokasi Bisnis

Kerja Sama Indonesia-Taiwan Diharapkan Meningkat
Dikutip dari Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Pebisnis Taiwan berminat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan investasi baru setelah China dinilai mulai kurang kompetitif. Namun, calon investor masih mempersoalkan layanan birokrasi, infrastruktur, dan masalah perburuhan. Terdapat 2.000 perusahaan Taiwan yang siap keluar dari China.
Pandangan tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban, Kamis (31/7) di Jakarta.
Menurut Sofjan dan Rekson, antusiasme investor Taiwan tercermin dalam forum investasi Indonesia-Taiwan yang digelar Kamar Dagang dan Industri kedua negara pekan ini di Taipei.
”Ada 2.000 perusahaan Taiwan yang sudah pasti mau keluar dari China. Mereka mempertimbangkan untuk merelokasi bisnisnya ke Indonesia atau Vietnam,” ujar Sofjan.
Namun, kerumitan perizinan dan kelemahan sarana dan prasarana fisik, termasuk krisis listrik, menjadi pertimbangan para calon investor.
Kepada para calon investor di Taiwan, Rekson menjelaskan, serikat buruh di Indonesia saat ini lebih rasional dibandingkan dengan awal reformasi. Unjuk rasa dan pemogokan kini sudah jauh berkurang. Pelaku usaha dapat menghindari pemogokan dan unjuk rasa dengan membentuk serikat pekerja, perjanjian kerja bersama, dan perundingan secara bipartit.
Indonesia surplus
Dari Taipei dilaporkan, kerja sama ekonomi dan perdagangan antara Indonesia-Taiwan yang sudah berjalan baik diharapkan bisa lebih meningkat di semua sektor. Terpilihnya Presiden Taiwan Ma Ying Jiu yang berasal dari Partai Kuomintang diharapkan akan membuka peluang kerja sama ini semakin besar.
Selama ini kerja sama ekonomi dan perdagangan antarkedua negara masih surplus di pihak Indonesia. Namun, untuk mengembangkan lebih lanjut harus tetap hati-hati karena Indonesia menganut kebijakan satu China atau one China policy.
”Kerja sama selama ini dilakukan berdasarkan hubungan bisnis saja. Tidak bisa berhubungan Government to Government. Kalau sudah menyangkut begitu, sering kali Indonesia mendapat tekanan dari China. Pemerintah tidak bisa mengirim delegasi ke Taiwan,” kata Agum Gumelar, Ketua Komite Taiwan Kadin, Selasa (29/7) di Taipei.
Sementara itu Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan Soehartono mengatakan, tahun 2007 ekspor Indonesia ke Taiwan mencapai 8,9 miliar dollar AS, naik 12,86 persen dibandingkan dengan tahun 2006.
Adapun ekspor Taiwan ke Indonesia pada tahun yang sama mencapai 5,78 miliar dollar AS, naik 11,15 persen dibandingkan dengan tahun 2006. (day/ARN)

Kembali

Transformasi Indonesia Dinilai Mengagumkan

KEPRESIDENAN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy Kishore Mahbubani memuji kesuksesan transformasi Indonesia sebagai bagian dari transformasi Asia. Mahbubani optimistis akan kelanjutan peran Indonesia dalam kontribusinya bagi kesuksesan Asia pada abad ke-21 yang akan menjadi abad Asia. ”Indonesia telah memainkan peran yang heroik dalam transformasi Asia. Indonesia terbukti sukses melewati transisi yang paling sulit menuju demokrasi yang utuh. Ini adalah kisah yang membanggakan yang tidak sepenuhnya dipahami dunia,” ujar Mahbubani saat memberi kuliah kepresidenan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/7). Mahbubani mengemukakan, Indonesia maju saat suara kebebasan dan demokrasi Amerika Serikat meredup dan mulai mundur. Hal itu terlihat dari upaya penanganan terorisme dan tahanan di Guantanamo. Kontras, ini menjadi tragedi karena kisah membanggakan transformasi Indonesia menuju demokrasi tidak tersiar ke seluruh dunia lantaran media internasional didominasi media Barat. ”Mereka tak bisa membayangkan Asia dapat melakukan banyak hal yang lebih baik daripada dunia Barat yang melakukannya,” ujarnya. Atas penilaian Mahbubani, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku senang karena upaya jatuh bangun Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi mendapat pengakuan dan dinilai sudah berada di jalur yang tepat. ”Namun, ini bukan masalah senang atau tidak senang. Penilaian itu bagi kita jadi cermin. Kita belum puas karena transformasi kita menuju demokrasi belum cepat meski sudah di jalur yang tepat,” ujarnya. Presiden melihat uraian kuliah kepresidenan Mahbubani ”Indonesia di antara Kebangkitan Kembali Asia dan Krisis Global” sebagai hal yang menantang dan provokatif. (INU)Kembali

Waspadai Benih Sawit Palsu

Dikutip dari Rubrik Ekonomi - Keuangan - Bisnis di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Senin, 14 Jul 2008, halaman 04.

MELONJAKNYA permintaan benih kelapa sawit membuat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kondisi tersebut. Salah satunya dengan menjual benih kelapa sawit palsu.
Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi, Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian, Darmansyah Basyaruddin mengakui, meningkatnya permintaan benih sawit justru dimanfaatkan sebagian pihak untuk memproduksi benih sawit palsu. Dalam menjual produknya, produsen memasukkan benih dalam kemasnya yang cukup menarik. “Mereka juga mencantumkan label yang menyatakan bahwa benih itu berasal dari Kostarika. Lucunya, di dalam label itu tertera benih asal Kostarika tapi diproduksi di Malaysia,” katanya.
Namun lanjut Darmansyah, karena mereka menjual kepada petani atau pekebun yang tidak paham terhadap hal itu, sehingga pembelinya cukup banyak. Apalagi penjualanya melalui kios-kios pertanian yang ada di daerah. Bahkan peredaranya juga sudah cukup luas dan mengkhawatirkan karena merambah sentra produsen kelapa sawit seperti, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Bengkulu dan Kalimantan Timur.
Bahkan kini cara penyebaran benih palsu semakin canggih. Terbukti dari munculnya modus baru penyebaran benih kelapa sawit palsu dengan menggunakan kemasan kotak kardus yang menarik, kadang lebih bagus dari yang asli. Kemasan berisi benih yang tidak jelas asal usulnya kemudian diberikan merek “Costarika, DxP, Palm Oil Seed”.
Bahkan pada kemasan tertera nama distributor, Rimbah Sawit, Ltd, Johor Sdn Bhd-5000, asal Malaysia. Dibubuhi pula dengan stempel dari Pusat Penelitian Malaysia untuk lebih meyakinkan konsumen terhadap keunggulan produk ini.
Untuk menggaet pembeli, khususnya petani, produsen benih palsu itu juga membandrol benih dengan harga miring. Benih tersebut dijual dengan harga Rp650.000 per kemasan (250 butir), sehingga harganya hanya Rp3.000-4.000 per kecambah. Artinya harga benih palsu itu di bawah harga benih legal terendah, milik Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang dijual seharga Rp4.500 per kecambah.

“Carrefour Effect”

Oleh Wahyu Utomo
Dikutip dari Rubrik Ekonomi-Keuangan di Harian Jurnal Nasional, Jakarta, Senin, 14 Juli 2008 halaman 04.

KALAU di Amerika kita mengenal istilah ”Wal-Mart Effect”, maka di Indonesia saya punya istilah yang serupa walaupun tak sepenuhnya sama: “Carrefour Effect”. Saya sebut demikian, karena dari tahun ke tahun sejak debut pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1989, retail giant asal Prancis ini kian perkasa mendominasi (bahkan menghegemoni) industri ritel Tanah Air. Dan kalau kecepatan ekspansi peritel gajah ini terus berlangsung seperti sekarang, bisa jadi “Wal-Mart Effect” seperti yang terjadi di Amerika bakal terjadi di sini.
Istilah “Wal-Mart Effect” muncul untuk menandai keperkasaan Wal-Mart dalam memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat AS, baik positif maupun negatif. “Size does matter!!!” Itu kira-kira istilah yang tepat untuk Wal-Mart. Dengan sekitar 4.000 gerai (termasuk Sam’s Club) perusahaan terbesar di dunia ini mempekerjakan 1,3 juta angkatan kerja AS, dikunjungi 120 juta konsumen tiap minggunya, menguasai 6,5% seluruh penjualan ritel; menguasai 15% impor AS dari China. Karena menjual produk apa pun dari deodoran, baju, CD musik, komputer, hingga mobil, maka penjual apa pun di AS bersaing head-to-head dengannya: Wal-Mart adalah “musuh siapa pun”.
Karena ukurannya yang seperti gajah bengkak, Wal-Mart bahkan sampai mampu menekan tingkat inflasi AS melalui kebijakan ”Everyday Low Price”. Tapi karena kebijakan harga miring itu pula ia dikritik habis-habisan karena dinilai menekan karyawan dengan memberi gaji yang rendah untuk memangkas biaya. Wal-Mart juga dituding membunuh peritel tempatnya beroperasi, karena begitu gerai Wal-Mart dibuka, pelan tapi pasti peritel-peritel lain berguguran, kalah bersaing. Tak hanya itu, kebijakan ”Everyday Low Price” juga memakan ”korban” para supplier yang teriak-teriak karena harga jual mereka terpangkas hingga merugi. (silakan e-mail ke yuswohady@gmail.com untuk mendapatkan bahan-bahan pdf mengenai “Wal-Mart Effect”).
Walaupun tidak seekstrem kasus Wal-Mart, saya melihat gejala Carrefour kian memiliki kekuatan hegemonis yang berdampak baik maupun buruk kepada industri ritel dan ekonomi nasional secara keseluruhan. ”The Good”, berdampak baik; ”The Bad”, berdampak buruk; dan ”The Ugly”, berdampak sangat buruk.
The Good.
Kehadiran Carrefour adalah good news bagi konsumen. Kekuatan hegemonis Carrefour terjadi karena kemampuan perusahaan ini dalam memberikan empat extraordinary value ke konsumen: Pertama, harga murah; kedua keberagaman jenis produk; ketiga, kenyamanan; keempat, image berbelanja. Berkat extraordinary value ini, Carrefour memiliki ”daya isap” layaknya vacuum cleaner dalam ”menyedot” pelanggan-pelanggan dari peritel lain.
The Bad.
Karena keperkasaan Carrefour dalam menggaet konsumen, peritel ini memiliki bargaining position yang sangat powerful dalam berhadapan dengan supplier-supplier-nya. Beberapa waktu lalu saya ketemu dan ngobrol dengan CEO sebuah perusahaan consumer good. Si CEO ini curhat ke saya, mengeluh karena dengan semakin perkasanya Carrefour, peritel kakap ini menjadi besar kepala dan kian ”jual mahal” ke supplier. Keluhnya, Carrefour memasang tarif yang super mahal untuk placement produk-produk di gerainya. Tak pelak lagi, rak-rak dan gondolanya menjadi komoditas yang sangat mahal. ”Apa-apa pakai duit, dan mahal minta ampun,” keluhnya lagi. Keluhan si CEO di atas bukannya yang pertama, banyak saya mendengar curhat senada dari para pemilik merek.
The Ugly.
Dampak destruktif Carrefour rupanya lebih jauh lagi menusuk ke ulu hati. Dampak ini terutama dirasakan oleh pesaingnya dan para distributor. Sekali lagi karena keperkasaannya, ekspansi peritel ini memiliki ”daya gilas” yang begitu dahsyat kepada para pesaing-pesaingnya baik besar, menengah, maupun kecil. Kita tahu semua, kehadiran Carrefour (yang menempati posisi di tengah kota) telah menyebabkan supermarket-supermarket punah (”Hero...where are you???”), pasar-pasar tradisional sepi, dan toko gudang rabat seperti Alfa dan Makro ikut-ikutan terpuruk.
Seburuk-buruknya peritel gajah ini, saya masih tetap cinta Carrefour. Kenapa? Karena itu tadi, ia memberi saya dan anak-istri saya harga super miring, ruangan belanja ber-AC nan dingin, one stop shopping sehingga saya nggak perlu pergi ke banyak toko, dan yang penting... belanja di Carrefour lebih mentereng, jadi bisa ”jaim”. Hehehe...
Ingat!!! ”Menguasai konsumen, berarti menguasai segalanya.”
Yuswohady
MarkPlus Institute of Marketing (MIM)