Selasa, 07 Oktober 2008

Bangsa yang "Tahan Banting"

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh MYRNA RATNA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 6 Oktober 2008

Empat puluh tahun lalu, ekonom Swedia yang juga pemenang Nobel, Gunnar Myrdal, menulis karya monumental, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, yang berisi kajian terhadap negara-negara Asia Selatan dan Tenggara (khususnya India, tetapi juga melebar ke Indonesia dan negara-negara lain). Myrdal menggambarkan, negara-negara di kawasan itu dirundung kemiskinan, dibayangi ledakan penduduk dan perekonomian yang suram.

Penyebab kondisi itu, menurut Myrdal, adalah ”keterbelakangan” Asia dalam hal modal, sumber daya, dan tingkat pendidikan. Namun, karakter ”khas” orang Asia juga berperan di situ, seperti disiplin kerja rendah, termasuk disiplin waktu dan ketertiban; kebencian terhadap kerja manual, suka hal- hal irasional, sulit beradaptasi dengan perubahan, kurang berambisi, gampang dieksploitasi, sulit bekerja sama.

Pemerintahan di negara-negara itu dinilainya ”terlalu lembek” (ia menemukan istilah soft states), alias tidak mampu menerapkan disiplin sosial. Reformasi akan sulit diwujudkan karena korupsi dan inefisiensi merajalela. ”Tanpa ada disiplin sosial, sulit bagi negara-negara itu untuk bisa berkembang cepat,” katanya (Time, 15 Maret 1968).

Gunnar Myrdal tutup usia pada 17 Mei 1987 (88 tahun). Ketika itu, Jepang, Korsel (dan China) telah menjadi macan-macan ekonomi Asia. Bahkan, kontras dengan ramalan Myrdal, Indonesia pun melaju sebagai kekuatan ekonomi menengah di kawasan dengan PDB sekitar 3.080 dollar AS.

Namun, krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997-1998 membuka mata tentang perlunya mempertimbangkan faktor kultural (nilai, sikap, keyakinan, dan tradisi) dalam membentuk bangunan ekonomi dan politik sebuah negara. Tentu saja kultur tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan faktor-faktor lain, seperti penegakan hukum, sistem pengadilan independen, transparansi, dan kepemimpinan, untuk mewujudkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan kata lain, mengutip Dwight H Perkins, seandainya saja ekonomi di Asia Timur dan Tenggara dikelola dalam jalur yang menjunjung penegakan hukum dan bukan jalur KKN (korupsi, kroniisme dan nepotisme, sebuah karakteristik khas hubungan pemerintah-pengusaha di Asia, termasuk Indonesia), krisis moneter diyakini tak akan terjadi di kawasan (Culture Matters, hal 233).

Optimisme

Dalam perjalanannya setelah 10 tahun reformasi yang diwarnai keprihatinan mendalam akan masa depan bangsa, tetap ada titik-titik yang membangkitkan optimisme. Salah satunya adalah karakteristik bangsa Indonesia yang ”tahan banting”. Bukankah negeri ini tak habis- habisnya didera masalah? Krisis ekonomi yang berkepanjangan, kerusuhan, bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi, banjir, serangan bom, serangan penyakit, dan konflik berdarah. Namun, bangsa ini tetap bangkit dan memulai lagi.

Mungkin pembaca masih ingat bagaimana warga Yogyakarta bahu-membahu membangun kehidupan mereka kembali hanya beberapa jam setelah gempa bumi meluluhlantakkan sebagian wilayah itu tahun 2006. Mereka memulai bekerja dengan tangannya sendiri sampai bantuan pemerintah datang kemudian. Kita juga semakin sering menyaksikan antrean panjang rakyat yang rela berdiri berjam-jam demi satu jeriken minyak tanah atau satu ember air bersih. Kalau bisa, mereka juga ingin menjerit menghadapi impitan hidup yang makin menyesakkan. Tapi, bukankah hidup harus terus berlanjut?

Sudah sepatutnya pemerintah berterima kasih kepada rakyat yang tetap bangkit meski harta benda lenyap ditelan bencana. Rakyat yang tetap berjuang meski kebijakan pemerintah membuat hidup semakin sulit. Penghargaan itu hanya sepadan bila diwujudkan melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, rancangan kebijakan yang betul-betul mengutamakan kepentingan rakyat, serta penegakan hukum yang tidak diskriminatif.

Mayoritas bangsa ini juga memiliki ”nasionalisme” yang kental (terlepas bagaimana nasionalisme didefinisikan) dengan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Benedict Anderson menggambarkan betapa beda proses mewujudnya nasionalisme di Indonesia dibandingkan dengan di Indochina pada era kolonialisme. Di Indochina tak mencuat kesadaran bersama tentang ”keindochinaan”, sementara ”keindonesiaan” terus bertahan di bumi Nusantara, bahkan mengakar dengan kuat, melintasi zaman (Imagined Community, hal 127).

Jauh sebelum gagasan Indonesia merdeka muncul, kelompok-kelompok yang menamakan diri Jong Ambon, Jong Java, dan lainnya, rela menomorduakan keterikatan etnis dengan tanah kelahiran mereka demi tujuan yang lebih besar, yaitu sebuah ”negara yang belum terwujud” bernama Indonesia, dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda sehingga ketika bahasa Indonesia tahun 1928 diadopsi sebagai bahasa nasional, demikian Anderson, bangsa Indonesia tak pernah lagi menoleh ke belakang.

Gagasan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna, tetapi harta yang harus dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila ”modal” bersama ini dipelihara baik dan dikelola oleh sebuah kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi tantangan apa pun.

[ Kembali ]

Senin, 08 September 2008

Konspirasi Negara Adidaya Itu Memang Ada

KESEHATAN
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 8 September 2008

Selama ini, konspirasi negara adidaya dengan organisasi global hanya muncul sebagai tuduhan. Namun, konspirasi itu ternyata memang ada yang akibatnya menyengsarakan negara-negara miskin dan berkembang, dan yang lebih buruk lagi adalah menyengsarakan umat manusia.

Paling tidak, itulah pengakuan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika menceritakan pengalamannya melawan konspirasi ketidakadilan sistem WHO dalam diskusi ”Perlunya Keberanian dan Keterbukaan untuk Mewujudkan Dunia yang Lebih Baik” di Universitas Paramadina di Jakarta, akhir pekan lalu.

Indonesia, sudah 63 tahun merdeka, mempunyai tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat. Tanggung jawab ini merupakan kewajiban negara. Selain itu, negara juga bertanggung jawab menegakkan citra bangsa di mata dunia. ”Kita bisa menguji pada diri sendiri apakah betul sudah merdeka, baik fisik maupun nonfisik, atau justru sekarang kita mengalami eksploitasi,” ujar Fadilah.

Paling tidak, itulah yang terjadi ketika Indonesia terserang virus flu burung. Musibah ini seakan-akan memberi hikmah kepada Indonesia.

”Saya merasakan adanya ketidakadilan, dan ini membuat saya protes ke WHO atas sistem yang tidak fair. Selama ini, kita disuruh mengirimkan virus ke WHO, tetapi ujung-ujungnya dikomersialkan. Ketika ditanya lebih lanjut kok bisa sampel virus itu berada di Los Alamos, tempat yang sama ketika senjata atom dibuat?” ujarnya.

Virus flu burung Indonesia, menurut Fadilah, merupakan virus dengan strain yang paling ganas di dunia.

”Mengapa kita diwajibkan setor ke WHO dan kita dapat apa? Ternyata kita ditawari vaksin, kalau tidak sanggup membeli, diberi pinjaman, yang harus dibayar nantinya. Inilah sistem dunia yang tidak adil yang saya lawan,” ujarnya.

Itulah sebabnya, Fadilah mengatakan, dirinya menghentikan pengiriman virus ke WHO sejak awal Januari 2007. Kemudian terjadilah serangkaian pertemuan yang dimulai dengan pertemuan pada 10 Februari 2007 dengan utusan WHO dan hasilnya deadlock. Bahkan, Indonesia lalu mengajukan resolusi 60 melawan Amerika Serikat, yang akhirnya bisa dimenangkan karena mendapat dukungan dari 122 negara Non-Blok. Belakangan, resolusi ini juga mendapat dukungan dari Rusia, Inggris, Jerman, dan Australia.

”Inilah bentuk konspirasi dalam mekanisme internasional yang menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.

Dengan menguasai teknologi, memiliki modal dan kemampuan, dianggap sah merampas hak sumber daya alam. ”Inilah pula yang menyebabkan negara miskin makin miskin, termasuk juga intellectual property rights, itu juga tidak menghargai sumber daya alam,” ujarnya.

Fadilah mengatakan bahwa sekarang sudah saatnya dunia harus berubah, Amerika juga berubah, dan dunia global yang hegemoni penuh eksploitasi harus diubah ke arah globalisasi yang penuh harmoni.

”Selama negara masih mengalami hegemoni, negara kuat menguasai negara yang lemah, kita akan selalu menghadapi dunia yang korup,” ujarnya. (MAM)

[ Kembali ]

Budaya dan Industri Kreatif

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 8 September 2008

Di antara kita semakin banyak yang memakai baju batik. Baju batik tidak hanya dipakai pada kesempatan resmi, tetapi juga dipakai sebagai pakaian harian.

Pada hari Jumat di beberapa kantor, tanpa instruksi, para pegawai berbaju batik. Batik suatu contoh dari budaya kita, pakaian sekaligus seni. Kombinasi dan interaksi semacam itu, variasi dan jumlahnya banyak.

Ada semacam ”Renaisans”, kebangkitan kembali dari negeri kepulauan kita—17.000 pulau lebih—kemacamragaman budaya kita, flora, dan fauna. Kebangkitan kembali itu dipicu oleh bangkitnya budaya kita yang kreatif. Kreativitas itu tanpa kita sadari menyumbang pada pertumbuhan dan pendapatan negara.

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, sejauh ini kontribusi ekonomi kreatif itu 6,3 persen dari pendapatan domestik bruto atau Rp 104,6 triliun. Informasi dan kesadaran itu kita ketahui dan kita rasakan di antaranya dari sambutan Menteri Perdagangan pada acara pembukaan tahun kuliah baru Universitas Multimedia Nusantara hari Jumat lalu.

Periode Pemilu 2009, hari-hari ini masih sibuk pada persiapan, pendaftaran calon anggota legislatif, maju-mundurnya calon presiden baru, dan ”gangguan konsentrasi pemilu nasional” oleh berbagai pilkada. Pada waktunya nanti, setiap peserta pemilu legislatif dan pemilihan presiden akan mengendapkan diri dan bersiap diri menjajakan program dan motivasi. Motivasi kebangkitan Indonesia lewat momentum pemilu.

Sekaligus dalam konteks itu pula kita kontribusikan refleksi kritis-konstruktif terhadap siapa kita ini, bagaimana sosok dan isi negara kepulauan terbesar di dunia ini. Apa pula potensi kekayaan alam, budaya, kecakapan, dan kebijakan lokal yang dalam interaksi dengan faham kebangsaan dan ideologi nasional kita, Pancasila, membangkitkan kebhinnekaan kita sebagai bukan saja realitas, tetapi realitas yang kreatif.

Tentu saja, kitalah sebagai anak bangsa dan sesama warga yang membuatnya kreatif. Kreatif dalam ekspresi seni budayanya, dalam sikap budayanya yang mau dan mampu mentransformasikan kekayaan alam dan budaya itu menjadi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Disebutkan sebagai ilustrasi subsektor industri kreatif itu di antaranya arsitektur, kerajinan, desain, fashion, musik, film-video-fotografi, penerbitan, layanan komputer, riset dan pengembangan, multimedia, penerbitan. Bisa kita tambahkan sendiri. Memang keberadaannya di tengah kita sehingga kita kurang menyadarinya.

Dari perkembangan di negara-negara industri maju, ternyata, pada mereka pun terjadi perubahan itu. Ialah lajunya industri kreatif yang mengejar dan menyusul industri konvensional dari masa sebelumnya.

Komitmen kita untuk menyertakan budaya kerja yang kreatif, keras, jujur, dan saling percaya, akan lebih cepat lagi kemajuan industri kreatif itu sebagai faktor strategis kebangkitan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa. Bahan refleksi pula untuk ikut memberikan makna dan warna kepada gegap gempitanya persiapan pemilu.

[ Kembali ]

Sabtu, 06 September 2008

Digagalkan, Ekspor Ilegal Rotan

Polda Yogyakarta Amankan Produk Palsu Adidas
KOMPAS/C WAHYU HARYO PS / Kompas Images
Petugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (28/8), menunjukkan barang bukti rotan asalan dalam kontainer yang disita. Sebanyak 50 ton rotan asalan itu akan diselundupkan ke Sudan melalui Singapura.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Pontianak, Kompas - Ekspor ilegal 50 ton rotan ke Sudan melalui Singapura dari Pelabuhan Pontianak digagalkan. Dua eksportir dan seorang oknum pegawai Bea dan Cukai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyelundupan tersebut.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat M Chariri, Kamis (28/8) di Pontianak, mengatakan, penyitaan 50 ton rotan asalan jenis taman atau sega dilakukan pada Selasa lalu pukul 19.30 di Tempat Penimbunan Sementara Gudang/Kade 08 Pelabuhan Dwikora Pontianak. Barang itu terisi dalam dua kontainer berukuran 40 kaki yang siap diangkut menggunakan kapal MV Jasa Setia V5418W.

”Dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang disebutkan berisi 50 ton kepingan gaharu buaya, tetapi saat kontainer diperiksa ternyata rotan asalan,” kata Chariri.

Dua eksportir dari CV DP bertanggung jawab atas pengiriman barang, yakni berinisial RMS dan UMY, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Pontianak. Selain itu, satu oknum pegawai lapangan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Pontianak berinisial TH diduga terlibat dan ditetapkan sebagai tersangka. TH juga ditahan di rutan yang sama.

”Dari pengakuan tersangka, perbuatan (mengekspor rotan secara ilegal) itu baru dilakukan sekali,” kata Kepala Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Pontianak GH Sutejo.

Tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Mereka diancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.

Hasil pemeriksaan sementara diketahui rotan itu berasal dari Kabupaten Ketapang dan dibawa ke Pontianak melalui sungai. Rotan itu akan dikirim ke Sudan melalui Singapura. Belum dipastikan nilai ekonomis dan kerugian negara akibat upaya penyelundupan itu.

Lebih murah

Kepolisian Daerah DI Yogyakarta menyita ribuan sepatu, kaus, dan tas palsu yang menggunakan merek dagang Adidas dari sebuah gudang di Jalan Wahid Hasyim, Condongcatur, Sleman, Rabu sore. Barang bukti yang disita antara lain sepatu dan sandal berjumlah 1.135 pasang, pakaian hangat 1.377 lembar, kaus 148 buah dan 2 buah tas dengan merek sama. Barang itu dijual dengan harga lebih murah dari produk asli. Sepatu, misalnya, dijual Rp 85.000-Rp 105.000, sedangkan kaus rata-rata Rp 35.000.

Menurut Kepala Satuan II Pidana Khusus Direktorat Reserse Kriminal Polda DIY Ajun Komisaris Besar Agung Yudha Wibowo, pihaknya telah menetapkan satu tersangka berinisial GA atau RA selaku pemilik dan distributor barang. Namun, polisi belum bisa memintai keterangan tersangka karena masih berada di Jakarta.

Barang-barang itu tidak diproduksi di Yogyakarta. GA mendatangkan barang itu dari Tangerang dan China. Kerugian Adidas ditaksir Rp 6 miliar per tahun.(WHY/WER)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Hapus Penyebab Biaya Tinggi

Tinjau Ulang Insentif PPN dan PPnBM yang Berlebihan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Pembahasan rancangan amandemen Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau RUU PPN-PPnBM diarahkan untuk menghapus aturan pajak yang menyebabkan biaya tinggi. Diyakini, salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi adalah PPN berganda yang diterapkan pada banyak transaksi.

Ketua Panitia Khusus DPR untuk Paket RUU Perpajakan Melchias Markus Mekeng mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Kamis (28/8).

Menurut Melchias, DPR mencermati transaksi-transaksi perdagangan yang selama ini terbebani penerapan PPN berganda. Pajak berganda tersebut menyebabkan daya saing produk Indonesia rendah meskipun berkompetisi di pasar domestik.

”Lihat produk China. Bagaimana mereka bisa menjual dengan begitu murah? Selain biaya produksi yang ditekan, pasti ada faktor tarif PPN yang rendah sehingga barang China itu sangat murah. Itu akan menjadi bahan pertimbangan kami,” ujarnya.

Melchias menyebutkan, salah satu contoh produk yang tak bisa bersaing akibat pajak berganda adalah minyak jagung. Akibat dibebani PPN sejak pembelian bibit hingga jadi minyak, produk turunan jagung tak bisa bersaing.

Sementara ini, daftar inventaris masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR untuk RUU PPN mencapai sekitar 200 pasal. Jumlah DIM ini masih bisa berubah karena Panitia Khusus RUU PPN akan membuka luas kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan keluhannya melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU). RDPU pertama dalam pembahasan RUU PPN akan digelar tanggal 3 September 2008.

Saat ini, masih ada tiga dari sepuluh fraksi di DPR yang belum menyampaikan usulan DIM RUU PPN, yakni Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS).

Insentif berlebihan

Anggota Panitia Kerja RUU PPN-PPnBM dari F-PAN, Dradjad Wibowo, mengatakan, fraksinya akan mematangkan DIM setelah mendapat masukan masyarakat sehingga tidak perlu mengubah DIM di saat pembahasan nanti. Namun, F-PAN dipastikan akan memperjuangkan penertiban insentif-insentif PPN-PPnBM yang dianggap berlebihan.

”Insentif PPN dan PPnBM yang diberikan kepada beberapa sektor usaha, termasuk industri makanan dan minuman, diberikan tanpa perhitungan dan evaluasi yang akurat mengenai dampak terhadap penerimaan negara dan efek atas industrinya. Insentif itu diberikan lebih karena lobi pelaku usaha dengan tim ekonomi, terutama di Kantor Menko Perekonomian,” tuturnya.

Selain memperjuangkan penghapusan pajak berganda di perbankan syariah, F-PAN juga menekankan agar ada batas bawah tarif PPN. Itu perlu agar tarif PPN lebih fleksibel dengan kondisi perekonomian.

Sementara itu, anggota Panitia Kerja RUU PPN-PPnBM dari F-PKS, Rama Pratama, menyebutkan, fraksinya akan memfokuskan perhatian pada dua hal. Pertama, menghapus pajak berganda pada transaksi syariah. Kedua, memperjuangkan pembebasan PPN dari semua unsur transaksi yang terkait dengan pendidikan.

”Seharusnya, mulai dari pembelian buku pelajaran hingga biaya sekolah tidak dibebani PPN,” katanya.

Transaksi syariah

Adapun fokus terhadap pajak berganda pada transaksi syariah dilakukan karena, ke depan, akan banyak pembiayaan syariah yang membantu pengembangan sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah. Selama ini, ada beberapa jenis transaksi syariah yang diawali dengan penyerahan aset ke pihak ketiga, sebelum diperjualbelikan atau disewakan kepada nasabah. Akibatnya, ada dua kali transaksi yang dianggap layak dipajaki.

”Padahal, sebenarnya tidak ada dua kali transaksi. Itu yang ingin kami luruskan,” ujar Rama. (OIN)

[ Kembali ]

Inkubator Teknologi Atasi Kelesuan Lembaga Riset

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Lembaga riset didorong untuk membentuk inkubator teknologi yang berperan memasarkan hasil-hasil penelitian secara profesional. Dengan demikian, proses pengembangan dan komersialisasi produk riset berjalan dan terjadi regenerasi peneliti.

Demikian dikatakan Syahril, Kepala Bidang Pendayagunaan Hasil Penelitian dan Pengembangan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kamis (28/8) di Jakarta.

Selama ini, penelitian dan pengembangan di lembaga riset pemerintah hanya tertumpuk dan sulit dipasarkan.

Menurut Syahril, model yang diterapkan Jerman dapat menjadi contoh. Di sana para inovator didorong membentuk perusahaan inkubator teknologi dengan dukungan modal ventura. Mereka diberi waktu dua tahun untuk memasarkan karyanya. Apabila usaha itu berhasil, mereka akan dilepas dan dapat mengembangkan perusahaannya. Namun, bila gagal, para inovator bisa kembali ke lembaga induknya.

”Ketika mereka telah sukses mengomersialisasikan hasil penelitiannya, mereka keluar dari lembaga riset yang membesarkannya. Kemudian ada perekrutan penggantinya,” ujarnya.

Untuk mendukung berdirinya perusahaan inkubator itu, Syahril menyarankan ruangan-ruangan di gedung Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Dewan Riset Nasional dijadikan kantor tim peneliti tempat mereka mengadakan temu bisnis dan etalase bagi produk mereka.

Tim peneliti atau inovator itu perlu didampingi para enterpreneur—bergelar MBA misalnya— yang memiliki jaringan luas. Untuk menggandeng swasta, pihaknya menggelar Forum Inovasi Teknologi (FIT) setiap tahun.

Pada FIT kedua yang diadakan di Puspiptek Serpong, Tangerang, Banten, Selasa (26/8), misalnya, terjadi kesepakatan tidak tertulis antara perusahaan multinasional di bidang petrokimia Clariant untuk memanfaatkan hasil litbang Batan, sejauh aplikasi inovasi itu mampu meningkatkan daya saing produknya di pasar dunia.

Komersialisasi hasil litbang

Selama ini hasil inovasi para peneliti Batan masih kurang termanfaatkan dan kurang diminati industri. Demikian diungkapkan Ferhat Aziz, Kepala Biro Hukum dan Humas Batan. Industri masih enggan menggunakan temuan baru, padahal inovasi itu lebih hemat dalam penggunaannya.

Kondisi itu tercermin pada survei yang dilakukan Kementerian Negara Ristek tahun 2005. Data itu menunjukkan, jumlah produk litbang iptek di sektor pemerintah yang dikomersialkan hanya sebesar 14,5 persen dari total produk. Sebagian besar produk yang berupa desain, model, prototipe, varietas benih, hingga peta belum didayagunakan.

Dari 24 aplikasi paten lembaga riset pemerintah yang tercatat di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum & HAM, hanya satu yang dikomersialisasikan. Di Batan, dari 6 paten yang didapat sejak tahun 2000 belum satupun yang diminati industri atau menjadi produk komersial. (YUN)

[ Kembali ]

Batam, Pintu Masuk Impor Ilegal

Penyelundupan
KOMPAS/FERRY SANTOSO / Kompas Images
Aparat TNI Angkatan Laut di Batam, Kamis (14/8), menunjukkan telepon genggam yang diduga diimpor secara ilegal.Dalam kaitan ini ditahan dua kapal, yaitu Batam Indah I dan Batam Indah II.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Kamis (14/8), TNI Angkatan Laut menahan dua kapal kayu yang diduga mengangkut barang-barang impor ilegal, seperti telepon genggam dan minuman keras, dari Singapura ke Batam, Kepulauan Riau. Dua kapal berkapasitas 200 ton sampai 250 ton itu mengangkut barang-barang dari Pelabuhan Jurong, Singapura, dengan tujuan Pelabuhan Sekupang, Batam.

Praktik impor ilegal dengan kapal kayu dari Singapura ke Batam sebenarnya bukan masalah baru. Impor ilegal melalui Batam sudah lama berlangsung dan sangat mudah dilakukan. Jarak Singapura-Batam sekitar 20 kilometer. Jika kapal kayu bergerak dengan kecepatan 10 kilometer per jam, itu berarti dalam dua jam kapal yang membawa barang-barang ilegal sudah sampai ke Batam.

Jika aparat penegak hukum lemah, entah berapa kapal yang mengangkut produk impor secara ilegal dan masuk ke Batam setiap bulan. Barang-barang impor yang dibawa dengan kapal-kapal kayu dan masuk ke Batam dari Singapura sebenarnya bukan hanya telepon genggam dan minuman keras. Juga ada produk lain, misalnya makanan ringan, elektronik, suku cadang kendaraan, keramik, tongkat golf, dan masih banyak produk konsumsi lainnya.

Sebagai gambaran, maraknya produk impor ilegal itu dapat dilihat di toko-toko. Makanan impor tanpa kode makanan luar atau ”ML” dan tidak tercatat di Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan pun mudah ditemukan di pasar-pasar swalayan atau toko. Misalnya, keropok ubi ”Bika” atau permen ”Meiji”.

Selama ini Batam, termasuk Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun, menjadi salah satu pintu masuk barang-barang impor ilegal. Barang-barang itu tidak hanya dipasarkan di Batam, tetapi juga ke wilayah Indonesia lainnya, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jakarta.

Dengan kondisi itu, tidak heran Indonesia menjadi pasar empuk produk impor, baik legal maupun ilegal. Pintu-pintu masuk barang impor, khususnya impor ilegal, seperti Batam, Tanjung Pinang, dan Tanjung Balai Karimun, pun menjadi ”surga” bagi para penyelundup.

Salah satu indikator yang dapat menunjukkan besarnya arus barang impor, termasuk barang impor ilegal, adalah data impor yang tercatat di lembaga resmi Indonesia dan data ekspor yang tercatat di lembaga resmi di Singapura.

Dari data Departemen Perdagangan, nilai impor nonmigas Indonesia dari Singapura tahun 2007 sebesar 3,90 miliar dollar AS. Sementara itu, dari data Departemen Perdagangan dan Perindustrian Singapura (Ministry of Trade and Industry (MTI), nilai ekspor nonmigas Singapura ke Indonesia tahun 2007 sebesar 11,06 miliar dollar AS.

Itu berarti ada selisih atau perbedaan nilai impor barang dari Singapura sekitar 7 miliar dollar AS. Suatu perbedaan nilai yang cukup fantastis. Data itu juga dapat menggambarkan betapa besar pasar dalam negeri diterkam produk impor.

Pencatatan nilai ekspor Singapura ke Indonesia dari versi Singapura lebih valid karena pihak Singapura mencatat nilai ekspor dari data ekspor domestik dan data reekspor. Ekspor domestik merupakan produk yang dihasilkan atau diproduksi di Singapura.

Sementara itu, reekspor merupakan produk negara ketiga yang diimpor ke Singapura dan diekspor kembali ke negara lain. Produk reekspor biasanya hanya mengalami proses pengepakan, pelabelan, atau penyortiran di Singapura.

Di sisi lain, nilai impor dari Singapura yang tercatat di lembaga resmi di Indonesia cenderung kurang valid. Mengapa, karena banyaknya praktik impor ilegal. Selain itu, produk impor sering masuk ke kawasan berikat atau gudang berikat sehingga belum atau tidak tercatat, atau juga belum dimasukkan sebagai data impor.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida mengungkapkan, selama ini memang sering disebut-sebut banyak produk impor ilegal yang masuk ke pasar dalam negeri. ”Sering juga dipertanyakan, mana datanya. Namun, namanya produk ilegal, tidak ada datanya,” katanya.

Akan tetapi, menurut Diah, perbedaan data impor yang tercatat di Indonesia dengan data ekspor yang tercatat di Singapura itu merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa impor ilegal memang terjadi.

Diah menambahkan, perbedaan data mungkin saja terjadi akibat berbagai faktor. Misalnya, pihak Singapura mencatat data berdasarkan nilai barang, asuransi, dan pelayaran (cost insurance and freight/CIF). Sementara itu, pihak Indonesia mencatat data ekspor dari nilai barang di atas kapal (free on board/FOB).

Akan tetapi, jika hal itu terjadi, lanjut Diah, perbedaan data seharusnya tidak terlalu besar. Jika perbedaan terlalu besar, itu menunjukkan impor ilegal terjadi. Karena itu, pengawasan dari aparat terkait, seperti Bea dan Cukai , termasuk TNI AL atau polisi perairan, sangat penting.

”Bea dan Cukai kan yang menjaga dan mengawasi arus barang di daerah pabean. Aparat terkait juga menjaga wilayah perbatasan,” kata Diah. Tanpa kesungguhan aparat pengawasan di lapangan, memang sulit mengatasi praktik impor ilegal atau penyelundupan.

Tambah rawan

Masalah praktik impor ilegal atau penyelundupan, khususnya di Batam, menjadi bertambah rawan. Saat Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ), ketiga kawasan itu menjadi daerah bebas dari pungutan Bea Masuk (BM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan pungutan cukai.

Apalagi, jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam dicabut atau dihapus dengan adanya penetapan FTZ di BBK. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas di Batam menginginkan agar PP itu dicabut.

Itu berarti, empat produk, seperti produk elektronika, otomotif, minuman keras, dan produk rokok dan hasil tembakau, dapat masuk lebih leluasa tanpa pengenaan BM, PPN, PPnBM, dan cukai. Jika produk-produk impor masuk ke Batam dengan lebih leluasa, distribusi ke wilayah Indonesia yang lain pun semakin besar.

Selama ini ada beberapa alternatif jalur distribusi produk impor ilegal yang sudah masuk ke Batam. Misalnya melalui pengangkutan jalur laut dengan kapal kayu ke Pekanbaru. Atau, melalui pengangkutan jalur laut melalui jasa kargo pelayaran kapal Pelni dari Pelabuhan Sekupang, Batam, ke Medan dan Jakarta.

Jika PP No 63/2003 dicabut atau dihapus dengan penetapan FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun, dikhawatirkan pengawasan terhadap impor barang, khususnya impor ilegal atau penyelundupan, semakin sulit.

Saat ini pun, saat PP No 63/2003 masih berlaku dan empat produk itu dikenakan PPN, PPnBM, dan cukai, praktik impor ilegal terus berjalan. Apalagi jika PP No 63/2003 itu dihapus atau dicabut.

Praktik impor yang masih terus berjalan itu dapat dilihat juga dari kasus-kasus penangkapan yang dilakukan aparat. Misalnya, penangkapan dua kapal kayu yang diduga mengangkut telepon genggam dan minuman keras oleh TNI AL di perairan Pulau Tolop, Batam, Kepulauan Riau.

Dari informasi pihak TNI AL, kapal Batam Indah I memuat 104 koli komponen produk elektronik, seperti telepon genggam dan aksesorinya. Kapal Batam Indah II memuat 114 koli komponen produk serupa.

Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Batam Kolonel Muhamad Faisal mengungkapkan, sebagian besar barang di kapal, seperti telepon genggam dan minuman keras, tak sesuai dengan data manifes.

Hal itu juga diakui oleh kapten kapal Batam Indah II, Bagus. Menurut Bagus, barang-barang di kapal itu hanya dilengkapi manifes. Namun, ia tidak dapat memastikan apakah jumlah atau volume barang, seperti minuman keras, di kapal itu sesuai dengan manifes.

”Saya hanya membawa manifes. Mengenai jumlah, saya tidak tahu,” katanya. Bagus sudah beberapa kali mengangkut barang dari Jurong, Singapura, ke Batam.

Sebelum TNI AL menangkap dua kapal bermuatan minuman keras dan telepon genggam itu, aparat Bea dan Cukai di Batam juga pernah menahan ribuan karton berisi minuman yang mengandung etil alkohol atau minuman keras tanpa dilengkapi cukai dan dokumen kepabeanan.

Minuman beralkohol itu diimpor dari Singapura dan masuk ke Batam. Minuman itu kemudian ditemukan aparat Bea dan Cukai di sebuah gudang penyimpanan sebanyak 3.840 karton di gudang di Bengkong, Batam, setelah mendapat informasi dari kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai, di Jakarta.

Padahal, produk minuman keras termasuk produk impor yang diatur ketentuan tata niaganya. Diah Maulida menjelaskan, secara nasional izin impor minuman keras hanya diberikan kepada PT Sarinah dengan sistem kuota. Perusahaan lain tidak diizinkan mengimpor karena minuman keras dikenakan ketentuan tata niaga.

Diah menambahkan, meskipun Batam termasuk daerah kawasan perdagangan bebas (FTZ), tidak berarti semua perusahaan dapat mengimpor barang-barang yang dikenakan ketentuan tata niaga, termasuk minuman keras.

”FTZ itu kan terkait dengan masalah pembebasan Bea Masuk dan pajak-pajak. Ketentuan tata niaga tetap berlaku secara nasional, termasuk di Batam,” kata Diah. (Ferry Santoso)

[ Kembali ]