Kamis (14/8), TNI Angkatan Laut menahan dua kapal kayu yang diduga mengangkut barang-barang impor ilegal, seperti telepon genggam dan minuman keras, dari Singapura ke Batam, Kepulauan Riau. Dua kapal berkapasitas 200 ton sampai 250 ton itu mengangkut barang-barang dari Pelabuhan Jurong, Singapura, dengan tujuan Pelabuhan Sekupang, Batam.
Praktik impor ilegal dengan kapal kayu dari Singapura ke Batam sebenarnya bukan masalah baru. Impor ilegal melalui Batam sudah lama berlangsung dan sangat mudah dilakukan. Jarak Singapura-Batam sekitar 20 kilometer. Jika kapal kayu bergerak dengan kecepatan 10 kilometer per jam, itu berarti dalam dua jam kapal yang membawa barang-barang ilegal sudah sampai ke Batam.
Jika aparat penegak hukum lemah, entah berapa kapal yang mengangkut produk impor secara ilegal dan masuk ke Batam setiap bulan. Barang-barang impor yang dibawa dengan kapal-kapal kayu dan masuk ke Batam dari Singapura sebenarnya bukan hanya telepon genggam dan minuman keras. Juga ada produk lain, misalnya makanan ringan, elektronik, suku cadang kendaraan, keramik, tongkat golf, dan masih banyak produk konsumsi lainnya.
Sebagai gambaran, maraknya produk impor ilegal itu dapat dilihat di toko-toko. Makanan impor tanpa kode makanan luar atau ”ML” dan tidak tercatat di Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan pun mudah ditemukan di pasar-pasar swalayan atau toko. Misalnya, keropok ubi ”Bika” atau permen ”Meiji”.
Selama ini Batam, termasuk Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun, menjadi salah satu pintu masuk barang-barang impor ilegal. Barang-barang itu tidak hanya dipasarkan di Batam, tetapi juga ke wilayah Indonesia lainnya, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jakarta.
Dengan kondisi itu, tidak heran Indonesia menjadi pasar empuk produk impor, baik legal maupun ilegal. Pintu-pintu masuk barang impor, khususnya impor ilegal, seperti Batam, Tanjung Pinang, dan Tanjung Balai Karimun, pun menjadi ”surga” bagi para penyelundup.
Salah satu indikator yang dapat menunjukkan besarnya arus barang impor, termasuk barang impor ilegal, adalah data impor yang tercatat di lembaga resmi Indonesia dan data ekspor yang tercatat di lembaga resmi di Singapura.
Dari data Departemen Perdagangan, nilai impor nonmigas Indonesia dari Singapura tahun 2007 sebesar 3,90 miliar dollar AS. Sementara itu, dari data Departemen Perdagangan dan Perindustrian Singapura (Ministry of Trade and Industry (MTI), nilai ekspor nonmigas Singapura ke Indonesia tahun 2007 sebesar 11,06 miliar dollar AS.
Itu berarti ada selisih atau perbedaan nilai impor barang dari Singapura sekitar 7 miliar dollar AS. Suatu perbedaan nilai yang cukup fantastis. Data itu juga dapat menggambarkan betapa besar pasar dalam negeri diterkam produk impor.
Pencatatan nilai ekspor Singapura ke Indonesia dari versi Singapura lebih valid karena pihak Singapura mencatat nilai ekspor dari data ekspor domestik dan data reekspor. Ekspor domestik merupakan produk yang dihasilkan atau diproduksi di Singapura.
Sementara itu, reekspor merupakan produk negara ketiga yang diimpor ke Singapura dan diekspor kembali ke negara lain. Produk reekspor biasanya hanya mengalami proses pengepakan, pelabelan, atau penyortiran di Singapura.
Di sisi lain, nilai impor dari Singapura yang tercatat di lembaga resmi di Indonesia cenderung kurang valid. Mengapa, karena banyaknya praktik impor ilegal. Selain itu, produk impor sering masuk ke kawasan berikat atau gudang berikat sehingga belum atau tidak tercatat, atau juga belum dimasukkan sebagai data impor.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida mengungkapkan, selama ini memang sering disebut-sebut banyak produk impor ilegal yang masuk ke pasar dalam negeri. ”Sering juga dipertanyakan, mana datanya. Namun, namanya produk ilegal, tidak ada datanya,” katanya.
Akan tetapi, menurut Diah, perbedaan data impor yang tercatat di Indonesia dengan data ekspor yang tercatat di Singapura itu merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa impor ilegal memang terjadi.
Diah menambahkan, perbedaan data mungkin saja terjadi akibat berbagai faktor. Misalnya, pihak Singapura mencatat data berdasarkan nilai barang, asuransi, dan pelayaran (cost insurance and freight/CIF). Sementara itu, pihak Indonesia mencatat data ekspor dari nilai barang di atas kapal (free on board/FOB).
Akan tetapi, jika hal itu terjadi, lanjut Diah, perbedaan data seharusnya tidak terlalu besar. Jika perbedaan terlalu besar, itu menunjukkan impor ilegal terjadi. Karena itu, pengawasan dari aparat terkait, seperti Bea dan Cukai , termasuk TNI AL atau polisi perairan, sangat penting.
”Bea dan Cukai kan yang menjaga dan mengawasi arus barang di daerah pabean. Aparat terkait juga menjaga wilayah perbatasan,” kata Diah. Tanpa kesungguhan aparat pengawasan di lapangan, memang sulit mengatasi praktik impor ilegal atau penyelundupan.
Tambah rawan
Masalah praktik impor ilegal atau penyelundupan, khususnya di Batam, menjadi bertambah rawan. Saat Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ), ketiga kawasan itu menjadi daerah bebas dari pungutan Bea Masuk (BM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan pungutan cukai.
Apalagi, jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam dicabut atau dihapus dengan adanya penetapan FTZ di BBK. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas di Batam menginginkan agar PP itu dicabut.
Itu berarti, empat produk, seperti produk elektronika, otomotif, minuman keras, dan produk rokok dan hasil tembakau, dapat masuk lebih leluasa tanpa pengenaan BM, PPN, PPnBM, dan cukai. Jika produk-produk impor masuk ke Batam dengan lebih leluasa, distribusi ke wilayah Indonesia yang lain pun semakin besar.
Selama ini ada beberapa alternatif jalur distribusi produk impor ilegal yang sudah masuk ke Batam. Misalnya melalui pengangkutan jalur laut dengan kapal kayu ke Pekanbaru. Atau, melalui pengangkutan jalur laut melalui jasa kargo pelayaran kapal Pelni dari Pelabuhan Sekupang, Batam, ke Medan dan Jakarta.
Jika PP No 63/2003 dicabut atau dihapus dengan penetapan FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun, dikhawatirkan pengawasan terhadap impor barang, khususnya impor ilegal atau penyelundupan, semakin sulit.
Saat ini pun, saat PP No 63/2003 masih berlaku dan empat produk itu dikenakan PPN, PPnBM, dan cukai, praktik impor ilegal terus berjalan. Apalagi jika PP No 63/2003 itu dihapus atau dicabut.
Praktik impor yang masih terus berjalan itu dapat dilihat juga dari kasus-kasus penangkapan yang dilakukan aparat. Misalnya, penangkapan dua kapal kayu yang diduga mengangkut telepon genggam dan minuman keras oleh TNI AL di perairan Pulau Tolop, Batam, Kepulauan Riau.
Dari informasi pihak TNI AL, kapal Batam Indah I memuat 104 koli komponen produk elektronik, seperti telepon genggam dan aksesorinya. Kapal Batam Indah II memuat 114 koli komponen produk serupa.
Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Batam Kolonel Muhamad Faisal mengungkapkan, sebagian besar barang di kapal, seperti telepon genggam dan minuman keras, tak sesuai dengan data manifes.
Hal itu juga diakui oleh kapten kapal Batam Indah II, Bagus. Menurut Bagus, barang-barang di kapal itu hanya dilengkapi manifes. Namun, ia tidak dapat memastikan apakah jumlah atau volume barang, seperti minuman keras, di kapal itu sesuai dengan manifes.
”Saya hanya membawa manifes. Mengenai jumlah, saya tidak tahu,” katanya. Bagus sudah beberapa kali mengangkut barang dari Jurong, Singapura, ke Batam.
Sebelum TNI AL menangkap dua kapal bermuatan minuman keras dan telepon genggam itu, aparat Bea dan Cukai di Batam juga pernah menahan ribuan karton berisi minuman yang mengandung etil alkohol atau minuman keras tanpa dilengkapi cukai dan dokumen kepabeanan.
Minuman beralkohol itu diimpor dari Singapura dan masuk ke Batam. Minuman itu kemudian ditemukan aparat Bea dan Cukai di sebuah gudang penyimpanan sebanyak 3.840 karton di gudang di Bengkong, Batam, setelah mendapat informasi dari kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai, di Jakarta.
Padahal, produk minuman keras termasuk produk impor yang diatur ketentuan tata niaganya. Diah Maulida menjelaskan, secara nasional izin impor minuman keras hanya diberikan kepada PT Sarinah dengan sistem kuota. Perusahaan lain tidak diizinkan mengimpor karena minuman keras dikenakan ketentuan tata niaga.
Diah menambahkan, meskipun Batam termasuk daerah kawasan perdagangan bebas (FTZ), tidak berarti semua perusahaan dapat mengimpor barang-barang yang dikenakan ketentuan tata niaga, termasuk minuman keras.
”FTZ itu kan terkait dengan masalah pembebasan Bea Masuk dan pajak-pajak. Ketentuan tata niaga tetap berlaku secara nasional, termasuk di Batam,” kata Diah. (Ferry Santoso)
[ Kembali ]