Jumat, 05 September 2008

Penguatan Ekonomi Desa

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008
Oleh Mukhaer Pakkanna

Tim Ekspedisi Anjer-Panaroekan 2008 yang digelar Kompas menyampaikan reportase menarik tentang ”Bendar, Pengecualian Desa Nelayan” (Kompas, 23/8/2008).

Kehidupan Desa Bendar Juwana, Pati, Jawa Tengah, dikesankan sebagai desa yang memiliki tingkat kesejahteraan rata-rata di atas penduduk desa nelayan dari daerah lain.

Ada tiga hal yang bisa ditangkap dari ritme kehidupan desa itu, pertama, tingkat social trust masih berjalan sempurna. Relasi kekerabatan yang ditandai semangat gotong royong dan persaudaraan masih terasah.

Kedua, keterlibatan kaum perempuan, termasuk dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap, masih sangat tinggi.

Ketiga, hilangnya sistem ijon (lintah darat) diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Ketiga hal itu sejatinya menjadi modal sosial bagi penduduk desa lain di Tanah Air. Pola kehidupan nelayan yang diperlihatkan di Desa Bendar sebenarnya sudah lama hidup dan bersemayam dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia. Namun, pola-pola itu terberangus akibat kebijakan pembangunan yang tersentralisasi. Inisiasi lokal menjadi lumpuh, diganti kebijakan penyeragaman pusat.

Desentralisasi Desa

Otonomi daerah meniscayakan desentralisasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri berdasar prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000, kebijakan desentralisasi diikuti desentralisasi fiskal dan anggarannya pun terus meningkat signifikan.

Tidak mengherankan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 22 Agustus, kembali menyampaikan, transfer dana dari pusat ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat, yang semula Rp 129,7 triliun (2004) menjadi Rp 292,4 (APBN-P 2008). Bahkan, pada RAPBN 2009 transfer digenjot lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Namun, Presiden mengakui tidak optimalnya pembelanjaan di daerah melalui APBD. Akibatnya, pada APBN 2007 ada sisa anggaran yang amat besar, mencapai lebih Rp 45 triliun.

Peningkatan 134,3 persen transfer dana pusat ke daerah sejatinya mampu menguatkan ekonomi desa. Namun, transfer dana itu lebih banyak berhenti pada lingkaran elite pejabat di daerah. Para pejabat di daerah menganggap pemerintahan desa adalah bawahan bupati. Segala kebijakan desa diatur oleh pemerintahan daerah sehingga desa tidak dianggap sebagai pemerintahan yang otonom (Rozaki dkk; IRE dan FF, 2004). Padahal, desa adalah pion terdepan dalam peningkatan prakarsa dan partisipasi rakyat. Pemerintahan desa seyogianya mampu mangagregasi dan mengatalisasi aspirasi rakyat, terutama dalam rangka merangsang rakyat dalam partisipasi publik.

Diakui, di tingkat desa sudah ada Badan Perwakilan Desa (BPD) yang menjadi corong masyarakat desa menyalurkan aspirasinya. Namun, secara umum, anggota BPD banyak yang tidak paham arti dan fungsi yang mereka miliki.

Tupoksinya tidak jalan karena pemerintah daerah kurang melakukan sosialisasi serius, hanya sekadar prosedural. Fungsi-fungsi legislasi DPD di tingkat lokal tidak optimal. Sementara itu, pemerintahan desa juga kurang memiliki prakarsa merangsang partisipasi dan inisiasi rakyat. Implikasinya, rakyat pun berjalan sendiri-sendiri. Tidak mengherankan jika arus urbanisasi membesar akibat kemelaratan rakyat yang terus mengimpit di desanya.

Penguatan desa

Menurut data Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT; 2008), terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori amat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori amat tertinggal.

Desa tertinggal adalah desa yang belum dapat dilalui mobil, belum ada sarana kesehatan, belum ada pasar permanen, dan belum ada listrik. Rata-rata keluarga miskin di desa tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen.

Data ini berbicara, hampir separuh desa di Indonesia tertinggal. Tentu, peningkatan alokasi anggaran ke daerah dari tahun ke tahun seharusnya mampu mengurangi jumlah desa tertinggal. Namun, stimulus desentralisasi fiskal kurang optimal berjalan untuk membangun prakarsa dan kesejahteraan masyarakat desa. Maka, pendekatan sosial-kultural seharusnya berjalan simultan dengan peningkatan alokasi anggaran ke daerah dan desa.

Untuk menguatkan kapasitas ekonomi desa, perspektif desentralisasi seharusnya berujung tombak di tingkat desa. Prakarsa pemimpin dan tokoh masyarakat desa harus digalakkan. Jangan sampai karisma dan keteladanan pemimpin/tokoh masyarakat desa kian hilang.

Dengan tipikal masyarakat paternalistik, penguatan ekonomi masyarakat desa membutuhkan ”nabi-nabi” yang mampu menggelorakan semangat wirausaha desa. Maka, Pemda harus membuat program berkesinambungan—tidak sekadar dijadikan proyek jangka pendek—mendekati tokoh teladan di masyarakat.

Selanjutnya, perlu pula menghidupkan kembali sistem kekerabatan di desa-desa. Hidupkan kembali semangat gotong royong dan persaudaraan masyarakat. Dalam konteks ini, alokasi anggaran yang besar bukan jaminan untuk membangun sistem kekerabatan. Yang diperlukan adalah membangun saling percaya (social trust) melalui perkumpulan-perkumpulan warga.

Selanjutnya perlu membangun berbagai kelompok sosial dan ekonomi kaum perempuan. Keberhasilan Grameen Bank di Banglades karena mampu membangun kolektivitas produksi di tingkat perempuan. Kata Muhammad Yunus, membantu perempuan akan lebih mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dan, inilah yang membuat Desa Bendar Juwana, Pati, mampu membuktikannya.

Namun, perlu diingat, diperlukan upaya kuat membangun sistem dan kelembagaan ekonomi desa yang didasarkan pada pola kekerabatan dan bagi hasil. Untuk itu, hidupkan kembali sistem jimpitan, lumbung padi, warung-warung desa, dan lainnya.

Mukhaer Pakkanna Peneliti Cides; Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: