Kamis, 04 September 2008

Pahitnya Rasa Gula

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008
Oleh Toto Subandriyo

Ironis. Itulah gambaran kondisi ketahanan pangan negeri ini.

Ketika dunia internasional dilanda krisis pangan dan harga komoditas pangan di pasar dunia meroket, petani di Indonesia justru terpuruk. Harga komoditas pangan yang tinggi di pasar dunia hanya menjadi gula-gula yang tak dapat dinikmati petani.

Setelah harga jual gabah/beras saat panen raya rendengan terpuruk, kini giliran petani tebu meradang. Gula, hasil budidaya tebu musim giling, tak semanis yang diharapkan. Bahkan, gula yang mereka hasilkan terasa amat pahit karena jeblok harganya. Puluhan petani tebu di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, membakar tanaman tebu mereka (Kompas, 29/8).

Meski harga berbagai kebutuhan lain meningkat tajam akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga gula petani awal Agustus lalu justru anjlok pada angka Rp 4.980/kg. Padahal, harga break even point gula petani kita kini rata-rata Rp 4.900/kg. Margin keuntungan yang mereka peroleh turun dibandingkan dengan tahun 2007, saat harga BBM belum naik. Ketika itu harga gula petani sebesar Rp 5.300/kg.

Praktik tidak terpuji

Terpuruknya harga gula petani tak lepas dari buruknya sistem tata niaga gula di republik ini. Saat ini, data kebutuhan dan pengadaan gula amat njomplang. Menurut data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), total kebutuhan gula dalam negeri untuk rumah tangga dan industri mencapai 3,91 juta ton, sedangkan total volume gula yang beredar di dalam negeri tahun ini diperkirakan 6,46 juta ton. Jadi, tahun 2008 ini ada surplus gula sebanyak 2,55 juta ton.

Keterpurukan harga gula petani juga dipicu adanya praktik-praktik tidak terpuji. Jika dihitung komponen harga mulai dari harga pokok pembelian, bea masuk, pajak, biaya inklaring kapal, bea sewa gudang pelabuhan, bea bongkar muat, dan bea transpor truk, maka gula impor tidak akan dapat menyaingi gula lokal.

Anehnya, gula impor dijual dengan harga lebih murah dari gula petani lokal. Mengapa?

Pertama, terjadi praktik dumping oleh negara eksportir gula. Kedua, terjadi pencatatan bea masuk yang tidak sesuai ketentuan (underinvoicing) di pelabuhan. Ketiga, terjadi penyelundupan gula cukup besar dan terbebas dari aneka ketentuan impor.

Merosotnya harga gula lokal, antara lain dipicu membanjirnya gula rafinasi impor. Padahal, gula jenis ini untuk kebutuhan industri makanan-minuman dan tidak layak dikonsumsi langsung.

Ada tiga macam produk gula kristal, raw sugar (hasil dari tebu yang diproses langsung secara defikasi). Gula rafinasi merupakan raw sugar yang diproses melalui kilang gula (refinery) untuk dilakukan pemurnian. Gula putih diperoleh dari tebu yang diproses melalui sistem karbonatasi/sulfitasi. Gula putih merupakan jenis gula yang lazim dikonsumsi langsung oleh masyarakat, sedangkan gula rafinasi, apalagi raw sugar, tidak boleh dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Analisis laboratorium terhadap raw sugar mendapati kadar sukrosa sebesar 97,2-99,54 persen, kadar air 0,1-0,95 persen, kadar abu 0,1-0,35 persen, gula reduksi 0,06-0,086 persen, mikroba mesofilik 770-2.300 per 10 gram, dan yeast (ragi) mencapai 30-45/gram (P3GI, 1999). Ini menunjukkan, komponen bukan gula raw sugar (impurities) amat tinggi. Di AS, gula semacam ini masuk dalam kategori generally recognized as safe (GRAS) dan dilarang dikonsumsi langsung.

Data dan regulasi

Ada berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menolong petani gula. Pertama, pembenahan sistem tata niaga secara menyeluruh. Upaya ini harus diawali dari pembenahan data dan regulasi. Keberadaan data yang valid menyangkut kebutuhan per tahun serta data produksi gula nasional merupakan conditio sine qua non. Melalui data yang akurat ini dapat direncanakan kapan serta dalam volume berapa kita melakukan kegiatan importasi.

Regulasi pergulaan sudah saatnya disesuaikan. Regulasi dibuat dengan seminimal mungkin celah praktik ilegal importasi. Meski menurut WTO bea masuk maksimum 110 persen masih ditolerir hingga tahun 2010, guna melindungi konsumen dan produsen angka perlu ditetapkan secara moderat.

Kedua, upaya peningkatan produktivitas dan produksi gula dalam negeri. Sejarah mencatat, hingga tahun 1960-an, Indonesia adalah eksportir gula terbesar kedua dunia. Namun, kini kondisinya terbalik. Untuk mengembalikan kejayaan itu, agroindustri gula perlu direvitalisasi lebih revolusioner.

Perlu dilakukan pembaruan paradigma dalam kebijakan swasembada gula yang ditargetkan pemerintah tahun 2009. Ada hal yang amat mengganjal dalam kebijakan swasembada gula, di mana kebijakan ini masih mendasarkan kebutuhan gula rafinasi impor. Ini merupakan pembodohan, seolah target swasembada gula tercapai, padahal 30 persen pemenuhan gula rafinasi untuk industri makanan/minuman berasal dari impor.

Ketiga, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Masyarakat umum mengetahui, tata niaga pangan negeri ini lekat dengan aktivitas perburuan rente dan praktik kotor, seperti underinvoicing dan penyelundupan. Penegakan hukum dan pengawasan harus dilakukan.

Kemauan politik yang kuat dari semua pemangku kepentingan dapat menolong petani dari keterpurukan. Tanpa itu, kekecewaan petani tebu akan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Toto Subandriyo Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: