KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images Pekerja mengemas benih padi hibrida di PT Sang Hyang Seri di Sukamandi, Subang, Senin (25/8). |
Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 2 September 2008
Oleh Hermas E Prabowo
Soma (48), tidak meminta belas kasihan. Ia hanya menyuarakan,” Harga sarana produksi pasti tinggi. Sayangnya, harga produk pertanian tidak pernah pasti.”
Itulah kondisi yang selalu dialami Soma, dan petani lainnya. Bahkan situasi itu pula yang dihadapi orangtuanya, bahkan kakeknya, yang menjadi petani.
Persoalan petani selalu berulang. Namun, tidak satu pun ”uluran tangan” pemangku kepentingan yang menyelesaikan persoalan itu. Apalagi di era globalisasi, ketika komoditas pangan dan hortikultura dari negara lain menyerbu pasar lokal. Petani dibiarkan ”bertarung” sendiri melawan kapitalisme global.
Sudomo (65), petani warga Kendal, Jawa Tengah mengungkapkan, ”Petani selalu disuruh berjudi. Mulai dari berjudi dengan alam, karena iklim yang tidak menentu yang menyebabkan kerap gagal panen.”
Setelah memenangkan perjudian dengan alam, petani kecil harus berjudi dengan pasar. Harga komoditas pangan di pasar yang kerap fluktuatif, tak jarang membuat petani bangkrut.
Direktur Penelitian dan Pengembangan PT Sang Hyang Seri (Persero), produsen benih padi varietas unggul bermutu utama (VUB) di Indonesia, Niswar Syafa'at, menyatakan, nasib petani dengan industri benih sama. ”Kami dulu hanya bertugas merakit dan memasarkan benih padi VUB hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi Departemen Pertanian. Sekarang SHS boleh meneliti sendiri, tidak hanya menjadi tukang rakit,” katanya.
Niswar mengungkapkan, harga benih padi VUB seperti Ciherang hanya Rp 6.000 - Rp 7.000 per kilogram. Keuntungan produsen benih VUB relatif sedikit, karena biaya produksi benih VUB relatif tinggi, mendekati harga jual.
Selain itu, produsen benih VUB harus menghadapi pasar yang tidak pasti. Meski sekitar 30 persen dari total kebutuhan benih padi dalam negeri untuk 12,5 juta hektar sawah dipasok dari SHS, namun risiko yang dihadapi SHS cukup tinggi, karena ketidakpastian pasar.
Seandainya boleh memilih, SHS lebih senang memproduksi benih padi atau jagung hibrida. Benih hibrida menciptakan ketergantungan pada penggunanya (petani). Petani atau penangkar kecil-kecilan tidak akan mampu memproduksi benih padi hibrida. Selain proses penyilangannya rumit, butuh ketelitian tinggi, juga harus dilakukan sinkronisasi untuk mendapat produktivitas yang optimal.
Ketergantungan inilah yang mendatangkan keuntungan besar bagi produsen benih. Maka tidak heran bila sejak satu dekade terakhir banyak investor swasta menanamkan modal untuk membangun industri benih.
Syngenta, produsen benih dul nia asal Eropa, misalnya, pada 2007 mengalokasikan 830 juta dollar AS untuk penelitian benih hibrida.
Dupont, produsen benih jagung hibrida, dengan merek dagang Pioneer, berinvestasi besar-besaran. PT Bisi International Tbk, produsen benih jagung hibrida merek Bisi, tahun 2008 menganggarkan miliaran rupiah untuk meningkatkan kapasitas produksi benih hingga 60.000 ton per tahun.
Untung dari hibrida
Memproduksi benih, baik padi atau jagung hibrida, hanya butuh biaya produksi 15.000 - Rp 20.000 per kg. Padahal harga benih padi maupun jagung hibrida di pasaran, Rp 40.000 - Rp 50.000 per kg.
Dengan luas tanaman padi 12,5 juta ha setahun, bila rata-rata kebutuhan benih per hektar 25 kg, total kebutuhan benih padi hibrida di Indonesia mencapai 312.500 ton.
Dengan menghitung harga benih padi hibrida rata-rata Rp 50.000 per kg, potensi pendapatan industri benih padi hibrida setahun Rp 15,62 triliun. Bila biaya produksi benih padi hibrida 40 persen dari harga jual, maka pendapatan bersihnya Rp 9,37 triliun setahun.
Petani akan selalu tergantung pada industri benih hibrida, karena ia tidak dapat mengembangkan sendiri benih itu. Keuntungan akan terus mengalir sepanjang ketergantungan bisa terus dijaga. Caranya dengan riset yang kuat. Keuntungan industri benih semakin berlipat, karena komersialisasi benih hibrida biasanya ”satu paket” dengan penjualan pestisidanya.
Penjualan benih Monsanto misalnya, meningkat 26 persen, dari 2,842 miliar dollar AS pada kuartal III/2007 menjadi 3,588 miliar dollar AS di kuartal III/ 2008. Syngenta juga mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I/2008, menjadi 7,3 miliar dollar AS dibandingkan semester I/2007.
Dengan menanam benih hibrida keuntungan petani akan meningkat. Tetapi biaya produksi pun membengkak.(JOE)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar