Negara harus mampu mendorong masyarakat di perdesaan untuk mampu mengelola potensinya sendiri dan mengembangkan diri mewujudkan desa yang kuat. Terbentuknya desa yang kuat pada akhirnya akan membentuk negara kuat, dan desa yang kuat akan terwujud jika negara menjamin hadirnya otonomi desa dalam ketentuan perundang-undangan.
Demikian salah satu kesimpulan seminar sehari Pembaruan Perdesaan dan Kesejahteraan Masyarakat di Kampus UI, Depok, Selasa (26/8).
Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat Departemen Dalam Negeri Sony Sumarsono mengatakan saat ini pemerintah terus menggulirkan soal regulasi pengaturan desa dan pembangunan perdesaan. "Sejak dua tahun lalu, Departemen Dalam Negeri telah melibatkan akademisi dari berbagai universitas, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga donor semacam UNDP menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa," kata Sony.
Menurut Sony, RUU Desa akan lebih menjamin hadirnya otonomi desa dan menyempurnakan ketentuan sebelumnya. Diantaranya, UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang merusak struktur komunitas lokal karena menampik otonomi asli dan melakukan penyeragaman akibat sentralisasi ataupun UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.32 tahun 2004 yang hanya sedikit mengatur soal desa. "Dengan disusunnya RUU ini, kita cukup mempunyai ruang untuk mengatur desa secara serius. Selama ini pembahasan tentang desa hanya tempelan beberapa pasal dalam UU," ucapnya.
Dia menambahkan RUU Desa juga menggeser paradigma dari membangun desa menjadi desa membangun. "Dengan demikian masyarakat desa akan memiliki daya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan menjadi lebih otonom."
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Pataniari Siahaan mengatakan RUU Desa akan melindungi kearifan lokal dan memanfaatkannya sebagai potensi untuk membangun desa sehingga tak berbenturan dengan tradisi lokal. "Kita justru menggunakan kearifan lokal sebagai modal sosial masyarakat dalam rangka membangun desanya. Karena RUU ini memfasilitasi, melindungi potensi desa dan masyarakat desa, termasuk nilai tradisionalnya," katanya.
Agar tidak terjadi perlawanan di masyarakat lokal, Pataniari mengatakan RUU ini perlu dijelaskan kepada masyarakat, termasuk maksud dan tujuannya. "Sosialisasinya harus ditingkatkan."
Pakar Sosiologi Perdesaan dari Universitas Indonesia Robert MZ Lawang mengatakan untuk mewujudkan otonomi desa terdapat tiga permasalah mendasar yang harus dicermati yaitu, permasalahan fundamental, struktural dan institusional. "Setiap desa memiliki kelemahan dan kekuatan untuk otonomi secara institusional, struktural dan fundamental," kata Robert.
Dia juga mengingatkan corak desa di Indonesia sangat bervariasi dan hal itu memang dijamin dalam UUD 1945. Untuk itu dia mengingatkan agar pemerintah dan DPR berhati-hati dalam membahas dan merumuskan ketentuan perundang-undangan menyangkut desa. "Untuk mengetahui rupa otonomi desa yang fungsional diperlukan semacam eksperimen atau ujicoba penerapan," kata dia.
Robert pun merujuk pada Desa Pakraman di Bali yang mampu merespon kemajuan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya.
Heri Purwanto, Peneliti Lembaga Kajian Pemberdayaan Regional (LKPR) Surabaya mengingatkan RUU Desa harus memiliki perspektif membangun swadaya masyarakat.
Menurut dia, selama ini rakyat sangat tergantung terhadap pemerintah utamanya sejak Orde Baru menguasai semua elemen dalam masyarakat. Namun ketika berbagai krisis, termasuk krisis pangan dan energi, menghantam, rakyat desa menjadi korban pertama. Apalagi lanjutnya, di masa mendatang krisis pangan dan energi diprediksi semakin memburuk. Sedangkan kemampuan negara untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat kian terbatas.
"Satu-satunya jalan adalah kembali membangun masyarakat desa untuk swadaya," kata mantan Anggota DPRD Jawa Timur ini.
Rizky Andriati Pohan
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar