Oleh Ahmad Erani Yustika
Sudah sebulan ini, gempita pasar politik (political market) di Indonesia sudah dimulai. Hal itu ditandai 38 partai politik mengikuti pemilu.
Sebelumnya, telah terdapat iklan beberapa calon kandidat presiden dengan memanfaatkan banyak media. Pasar politik ini berlangsung panjang, hingga April 2009 saat dilangsungkan pemilu untuk memilih anggota legislatif. Usia pasar politik pun kian besar jika ditambah pemilihan presiden-wakil presiden yang kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran. Dengan demikian, seluruh kegiatan itu mungkin akan berakhir Oktober 2009 (saat pelantikan presiden baru).
Dalam sistem ekonomi pasar, pembukaan pasar (ekonomi) yang luas terbukti mendonorkan keragaman tawaran barang/jasa. Pertanyaannya, apakah pasar politik kali ini akan menyodorkan aneka gagasan atau platform menarik?
”Platform” ekonomi
Ada banyak aspirasi perubahan yang diinginkan rakyat. Namun, disepakati, isu ekonomi menjadi prioritas masyarakat. Kini semua pihak mengetahui, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah ada pada bidang ekonomi. Maka, kandidat/partai yang mampu memberi optimisme terhadap perbaikan ekonomi berpeluang besar untuk diterima rakyat.
Pada titik itulah, platform ekonomi menjadi simpul terpenting untuk mengaitkan partai politik dengan konstituennya melalui pasar politik. Sayang, platform ekonomi justru menjadi titik terlemah partai politik di Indonesia sehingga pasar politik gagal menjadi medium pertukaran yang efektif antara partai politik (supplier) dan rakyat (demander).
Ada banyak parpol yang menawarkan platform ekonomi, tetapi hanya satu-dua parpol yang platform-nya bisa diapresiasi. Selebihnya, platform ekonominya terjebak dalam bentuk ”orasi” yang amat normatif, tanpa ada kejelasan apa yang mau diperbuat dengan ekonomi di masa depan.
Kondisi itu bisa karena dua hal.
Pertama, partai politik tidak memiliki basis ideologi yang kuat sehingga bisa memandu dalam mendesain visi pembangunan ekonomi pada masa depan (setidaknya dalam lima tahun). Hal ini menyebabkan platform yang muncul selalu bersifat klise dan normatif.
Kedua, parpol tidak memiliki bahan baku informasi (data) akurat tentang kebutuhan nyata yang diinginkan rakyat. Implikasinya, platform ekonomi yang dijual berjarak dengan rakyat, tidak orisinal, dan normatif. Hasilnya, jumlah partai amat banyak, tetapi mandul dalam menciptakan platform ekonomi.
Demokrasi ekonomi
Saat ini topik demokrasi ekonomi amat aktual karena ada realitas ekonomi yang mencemaskan di Indonesia.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang dicapai diiringi ketimpangan pendapatan serius. Saat Orde Baru, gini rasio Indonesia berkisar pada angka 0,32. Pada tahun 2007, indeks yang mengukur ketimpangan itu (gini rasio) menjadi 0,37.
Kedua, ketimpangan kepemilikan/penguasaan lahan yang memprihatinkan, mencapai 0,7 (amat timpang). Padahal, lahan (tanah) merupakan salah satu faktor produksi paling penting dalam kegiatan ekonomi, selain modal, tenaga kerja, dan teknologi.
Ketiga, terjadi penumpukan modal pada segelintir orang. Rilis data majalah Forbes Asia akhir tahun 2007 menyebutkan, total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 27,86 miliar dollar AS (Rp 259,098 triliun). Jumlah itu ekuivalen dengan 33,93 persen APBN 2007.
Seharusnya, data-data itu menjadi bahan baku yang baik untuk menyusun platform (demokrasi) ekonomi karena sebagian besar persoalan ekonomi bersumber dari sana. Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah mendapat tempat penting dalam wacana pembangunan karena ada dua perkembangan yang berkaitan. Pertama, pengalaman historis para buruh dalam mengajukan tuntutan, lebih sering hanya mendapat janji-janji tentang kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Kedua, ada kesadaran yang meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik tidak sejalan dengan kapitalisme (Devine, 1995). Demokrasi politik yang menyertakan setiap individu dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapat ruang yang laik dalam kapitalisme karena sistem terakhir ini mengandaikan pemusatan pengambilan keputusan cuma pada segelintir pemilik kapital.
Dengan karakteristik semacam itu, proyek demokrasi ekonomi di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dalam konteks ini, ada beberapa kebijakan yang bisa dielaborasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.
Pertama, melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih menggambarkan pembagian faktor produksi yang adil.
Kedua, mencegah munculnya praktik rente ekonomi yang menyumbat peluang bagi masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi.
Ketiga, mengamalkan kebijakan land reform secara tuntas sehingga terbuka peluang bagi rakyat (petani) untuk mengakumulasi kesejahteraan.
Keempat, negara harus hadir untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat persaingan ekonomi melalui beragam skema, misalnya subsidi, pajak progresif, dan program social security.
Parpol yang bisa menyuarakan hal ini berpotensi meraup dukungan karena paralel dengan suara hati rakyat.
Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
[ Kembali ]