Senin, 04 Agustus 2008

Indonesia Kembali dalam "Radar Screen"

ANALISIS EKONOMI
Oleh MUHAMMAD CHATIB BASRI
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008 halaman 01.


Ada suatu masa ketika kita begitu galau akan lemahnya sisi permintaan, daya beli, dan daya dorong perekonomian. Data empiris menunjukkan, identifikasi itu tak sepenuhnya benar.
Melihat pertumbuhan konsumsi selama 10 tahun terakhir, sulit bagi kita membuktikan argumen tentang lemahnya daya beli. Kalau begitu, di mana masalah kita? Di sini pentingnya membaca laporan Economic Assessment of Indonesia 2008 yang diluncurkan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) minggu lalu. Hal yang positif, Indonesia masuk kelompok ”negara-negara dengan keterlibatan yang ditingkatkan” atau enhanced engagement countries, bersama Brasil, India, China, dan Afrika Selatan. Indonesia kembali dalam radar screen.
Di sisi lain, laporan ini juga mengandung pesan: problem kita yang utama adalah sisi penawaran. Problem yang utama bukanlah daya dorong, tetapi daya dukung perekonomian.
Isu klasik yang disalahkan: iklim investasi, terutama di sektor industri manufaktur dan pertambangan. Kalau benar lemahnya investasi disebabkan oleh buruknya iklim investasi, mengapa hal yang sama terjadi di Malaysia, Thailand, dan Jepang? Bukankah ketiga negara itu iklim investasinya lebih baik?
Lebih menarik: ternyata rasio investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) di Malaysia (21 persen) lebih rendah dibanding Indonesia (24 persen). Padahal, iklim investasi Malaysia lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, China, atau India. Karena itu, kita tak bisa melihat iklim investasi sebagai penjelas utama. Iklim investasi hanya sebuah syarat perlu, bukan syarat cukup.
Selama ini, kita begitu percaya pada mantra bahwa penurunan investasi yang utama adalah investasi asing. Penghitungan dekomposisi Bank Dunia (2007) justru bicara sebaliknya: penurunan investasi di Indonesia, Korea, dan Malaysia ternyata didominasi oleh penurunan investasi swasta dan domestik.
Di Indonesia, dari 84 persen penurunan investasi swasta, 59 persen dari domestik. Dari 76 persen kontribusi penurunan investasi domestik, 17 persen dari publik, dan sisanya 59 persen dari swasta. Hal ini menarik karena soal kita lebih pada investasi domestik: baik publik maupun swasta.
Penurunan investasi swasta domestik selain disebabkan oleh iklim investasi dapat juga karena terganggunya aliran kredit (credit channel) dari perbankan ke sektor barang, yang terjadi karena problem informasi yang tak simetris antara bank dan sektor produksi sehingga menimbulkan masalah agency cost. Yang bisa dilakukan adalah memperbaiki informasi, misalnya melalui biro kredit.
Investasi domestik jelas tak terlepas dari perlunya investasi publik di dalam infrastruktur. Krisis ekonomi yang terjadi 10 tahun lalu praktis tak memungkinkan terjadi ekspansi perbaikan infrastruktur. Permintaan yang meningkat tak bisa dipenuhi karena listrik terbatas dan biaya logistik mahal. Akibatnya, daya dukung perekonomian menjadi terbatas.
Pertumbuhan ekonomi memang selalu di atas 6 persen sejak triwulan IV-2006, tetapi setiap kali akselerasi meningkat, kita cenderung menghadapi problem inflasi.
Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) menunjukkan elastisitas penyediaan listrik terhadap PDB 0,5-0,67 persen. Artinya kenaikan 1 persen penyediaan listrik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,5-0,67 persen. Artinya, untuk pertumbuhan ekonomi 7 persen dibutuhkan input berupa penjualan listrik 11-14 persen per tahun. Bandingkan dengan tingkat penggunaan listrik sekarang.
Di luar listrik, kita menghadapi buruknya infrastruktur pelabuhan dan jalanan. Yang tak kalah serius, hambatan sisi penawaran ini juga bisa membawa dampak pada kesenjangan.
Statistik industri berbicara: sebagian besar pengguna generator adalah perusahaan besar, sedangkan persentase penggunaan generator di perusahaan kecil dan menengah relatif kecil. Perusahaan kecil dan menengah lebih bergantung pada pasokan PLN. Hal ini logis karena penyediaan generator atau pembelian listrik dari perusahaan lain membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Artinya, hambatan daya dukung tak hanya mengganggu pertumbuhan, tetapi juga membebani usaha kecil dan menengah.
Hambatan sisi penawaran juga tecermin dari pasar tenaga kerja yang kaku sehingga daya serap menjadi terbatas. Kekakuan ini yang menjelaskan mengapa elastisitas permintaan tenaga kerja Indonesia menurun.
Jika elastisitas peningkatan tenaga kerja 200.000-300.000 untuk 1 persen pertumbuhan ekonomi, untuk menyerap tenaga kerja baru dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen.
Jelas, ini tak mungkin segera tercapai. Yang bisa dilakukan adalah meningkatkan elastisitas penyerapan tenaga kerja kembali menjadi 400.000, bahkan lebih. Caranya? Kurangi kekakuan pasar tenaga kerja.
Agak ironis sebenarnya karena sampai paruh pertama 2008 masih terlihat kuatnya permintaan: penjualan sepeda motor, mobil, ritel, dan pertumbuhan PPN. Impor barang modal juga meningkat, pertanda perusahaan melakukan ekspansi. Namun, jika daya dukung terbatas karena listrik serta jalan dan pelabuhan tak memadai, pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
OECD tampaknya mempunyai kegalauan yang sama tentang soal itu. Kegalauan soal lemahnya sisi penawaran.

Muhammad Chatib Basri
Pengamat Ekonomi

Tidak ada komentar: