PERAIH Nobel Ekonomi 2001 berkebangsaan Amerika Serikat, Joseph E Stiglitz, bertandang ke Jakarta setelah 10 hari sebelumnya berada di Ubud, Bali.
Ekonom lulusan MIT (Massachussets Institute of Techology) ini terkenal sebagai pengeritik lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia dan WTO sebagai kepanjangan tangan Amerika.
Karena itu, Stiglitz menganjurkan kepada negara-negara berkembang bersikap lebih tegas terhadap IMF dan Bank Dunia. Juga harus tahu apa yang lebih diperlukan oleh sebagian terbesar masyarakatnya yang hidup dalam kemiskinan.
Ia mengingatkan bahwa Amerika Serikat yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya, sehingga melakukan double standards di kancah internasional. Maka, negara berkembang juga berhak memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.
Untuk kasus Indonesia, yang sedang berperang dengan korupsi, kemiskinan, dan pengangguran, Stiglitz mengingatkan bahwa "kekuatan pasar bebas" sering merugikan segmen-segmen besar masyarakat yang lemah (miskin), karena itu Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata melindungi rakyatnya.
Pada Selasa, (14/8) Stiglitz meluncurkan buku terbarunya, Making Globalization Work, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan.
Jurnal Nasional berkesempatan berbincang dengan ekonom yang sangat suka budaya Pulau Dewata ini pada Senin (13/8) malam, di kamar tempat menginapnya di Hotel Sultan Jakarta. Berikut petikannya.
1. Bagaimana Anda melihat globalisasi vis a vis negara-negara berkembang?
Berbeda antara satu negara dengan lainnya. Globalisasi berdampak bermacam-macam (mixed effects). Globalisasi bisa menjadi peluang untuk meningkatkan perekonomian dan mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Contohnya, China mampu memanfaatkan pelung dalam globalisasi.
Sebaliknya, globalisasi bisa berdampak sangat buruk yaitu menghancurkan perekonomian suatu negara dan menambah kemiskinan serta pengangguran. Contoh mismanagement globalisasi adalah negara yang terlalu cepat meliberalisasikan perdagangan dan menurunkan trade barriers, termasuk membuka pasar modal terlalu cepat. Atau bisa juga, negara yang membuka diri kepada pihak asing untuk mengolah sumber daya alamnya, namun mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.
Jadi, apakah globalisasi akan berdampak positif atau buruk sangat bergantung pada bagaimana Pemerintah me-manage globalisasi itu.
2. Apa langkah mendasar negara berkembang untuk sukses di tengah globalisasi?
Agar globalisasi berdampak positif bagi perekonomian negara berkembang, manajemen perekonomian negara perlu ditata dengan mengombinasikan kekuatan pasar dan campur tangan pemerintah untuk melindungi ekonomi domestiknya.
3. Bagaimana Prosesnya?
Ada tahapannya. Sekali lagi saya ambil contoh China yang berproses selama sekitar 20 tahun untuk memantapkan diri. China menciptakan industri baru dan pekerjaan baru, sehingga lapangan pekerjaan yang tumbuh melebihi lapangan pekerjaan yang hilang. Namun, hingga saat ini China belum meliberalisasikan pasar modal mereka, karena mereka tahu hal itu akan berefek buruk. Demikian pula India. Liberalisasi pasar modal membutuhkan waktu lebih lama dari liberalisasi perdagangan.
Indonesia dengan pertumbuhan ekonominya yang lebih lambat, dan pasar modal lebih lemah, akan membutuhkan waktu lebih lama dari China.
4. Bagaimana kombinasi intervensi pemerintah dan kekuatan pasar?
Kekuatan pasar untuk negara yang heterogen seperti Indonesia tetap menjadi pusatnya, namun intervensi perlu dilakukan pemerintah pada hal-hal tertentu, seperti reformasi agraria (land reform), pendidikan serta riset dan teknologi. Ini contoh titik-titik yang sangat penting diperankan pemerintah.
5. Dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, mengapa pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis 1997 tergolong lambat?
Indonesia memiliki masalah legacy of the past, faktor sejarah yang turun-temurun, sebut saja korupsi yang sudah mendarah daging selama puluhan dekade. History matters. Anda tidak bisa merubah sejarah dalam waktu semalam. Selain itu, investasi Indonesia terhadap pendidikan juga lebih lemah dibandingkan negara lainnya.
6. Bagaimana tatana ekonomi dunia ke depan, misalnya dalam 25 tahun mendatang?
Asia akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, juga akan tumbuh ketidaksetaraan ekonomi (growing inequality) yang semakin parah dan timpang.
7. Apakah globalisasi juga bisa memberi dampak buruk bagi negara maju?
Ya, di Amerika Serikat (AS) kebanyakan orang menjadi lebih miskin hari ini dibandingkan 30 tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi pada penduduk dengan status ekonomi atas. Pekerja tanpa keahlian di AS berkompetisi dengan pekerja tanpa keahlian di China dan India. Jika dunia menjadi total globalisasi, pekerja tanpa keahlian (unskilled workers) akan memiliki upah yang sama di seluruh dunia. Berarti upah di AS untuk pekerja tanpa keahlian akan lebih rendah dari sebelum-sebelumnya.
Bahkan, seorang programer komputer di AS hari ini harus bersaing dengan programer dari India yang menawarkan gaji yang lebih rendah. Artinya, banyak tekanan untuk menurunkan gaji.
8. Di Ubud 10 hari, Anda menikmatinya?
Ya. Ubud itu indah dan juga tenang. Saya jadi memiliki momen yang baik untuk banyak menulis. Banyak hal menarik dari keseniannya dan keragaman upacara adatnya. Boleh dibilang, saya sangat menikmatinya.
9. Kesan Anda terhadap orang Indonesia?
Satu hal khas yang saya lihat menonjol dari Indonesia dibanding negara lain adalah segi mannerism (tata kelakuan). Mereka banyak tersenyum, tertawa dan sopan. Di lain sisi, seperti yang juga ditemui penduduk negara lain dengan kebudayaan yang berbeda, hal kekhawatiran atau lainnya seperti ambisi, juga ada. Jadi, ada perbedaan sekaligus persamaan.
Jan Prince Permata
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar