Minggu, 31 Agustus 2008

Indonesia Masuk "Perangkap Pangan"

Petani Hanya Jadi Buruh Tanam
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008.

Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk dalam ”perangkap pangan” atau food trap negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Bahkan, empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meskipun belum kritis, jagung, daging sapi, dan susu patut diwaspadai.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, krisis ini terjadi karena Indonesia tidak mampu mengatasi persoalan itu sejak dulu. ”Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti untuk mengurangi ketergantungan pangan impor itu, justru sebaliknya malah makin parah,” kata Rudi, Sabtu (30/8) di Surabaya.

Meningkatnya ketergantungan ketahanan pangan negeri ini pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.

Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 6,037 juta ton. Lima tahun kemudian, tahun 2005, impor gandum naik hampir 10 persen menjadi 6,589 juta ton. Tahun 2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton. Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5 persen dari total kebutuhan.

Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,15 miliar ekor (2007), tetapi super induk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/PS)-nya diimpor dari negara maju.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu. Setiap tahun 70 persen kebutuhan susu diimpor dalam bentuk skim.

Untuk jagung, produksi tahun 2008 memang surplus. Namun, peningkatan produksi itu ditunjang oleh penggunaan benih jagung hibrida. Tahun 2008, penggunaan hibrida mencapai 43 persen dari total luas tanaman jagung nasional 3,5 juta hektar. ”Kondisi jagung lebih baik karena ada progres penggunaan teknologi,” kata Rudi.

Meskipun begitu, kebutuhan benih jagung hibrida sekitar 30.100 ton per tahun itu sebagian atau 43 persen bukan berasal dari perusahaan benih nasional atau petani penangkar, tetapi diproduksi oleh perusahaan multinasional, seperti Bayer Crop dan Dupont.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan jeroan beku per tahun mencapai 64.000 ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar 600.000 ekor.

Peran negara kuat

Menanggapi situasi ketahanan pangan Indonesia, yang sangat bergantung pada impor, ahli peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, mengakui, produksi dan perdagangan pangan dunia memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Selain itu, peran perusahaan multinasional (MNCs) pun tambah kuat dan berpengaruh.

Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, negara-negara maju itu melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, menyubsidi pertanian mereka agar komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan di pasar dunia.

Konsentrasi perdagangan pada industri raksasa dunia tampak dari peran MNCs yang menguasai industri hulu sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida. Tidak hanya di hulu, di hilir pun MNCs ”menggenggam” industri hilir pertanian, antara lain dalam industri pengolahan pangan.

Guna mendukung hegemoninya di pasar komoditas pangan, perusahaan multinasional juga mengembangkan ”revolusi” ritel melalui hipermarket dan perdagangan ritel pangan di negara berkembang. Braun dalam hasil penelitiannya di International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan, total penjualan 10 perusahaan MNCs global untuk sarana produksi pertanian mencapai 40 miliar dollar AS, industri pengolahan dan perdagangan pangan 409 miliar dollar AS, dan industri pengecer 1.091 miliar dollar AS (lihat tabel).

Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya kebagian menjadi buruh tanam untuk sarana produksi yang dihasilkan MNCs. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan yang juga milik perusahaan multinasional. Selanjutnya hasil produksi itu diperdagangkan melalui perusahaan ritel, yang juga milik perusahaan multinasional, kepada konsumen, yaitu masyarakat Indonesia, termasuk petani.

Perusahaan Monsanto dari AS, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat di AS, tetapi di ratusan lokasi di dunia.

Syngenta (Swiss), mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I-2008, yakni menjadi 7,3 miliar dollar AS, dibandingkan semester I-2007. Saat ini Syngenta memiliki 300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.

Rudi mengingatkan, Indonesia akan semakin bergantung pada pangan impor. ”Apabila sewaktu-waktu terjadi gejolak pangan impor di tengah sektor riil banyak bergantung pada bahan baku impor, hal itu akan membahayakan perekonomian nasional.

Daya saing rendah

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, tingginya ketergantungan pada pangan impor karena rendahnya daya saing dan kesiapan teknologi pertanian. Gandum, misalnya, kebutuhan terhadap komoditas ini terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum per kapita per tahun mencapai 10 kilogram. Padahal, gandum bukan komoditas unggulan negeri ini.

”Arah diversifikasi konsumsi pangan kita keliru. Salah satu sebabnya, kebijakan pemerintah yang kurang pas,” ujarnya.

Siswono mengingatkan, Indonesia tengah digiring masuk dalam perangkap pangan negara maju dan MNCs. Ironisnya, pemerintah justru memberikan jalan bagi mereka untuk ”mencengkeram” negeri ini.

Hal itu, antara lain, tampak dari dibebaskannya bea masuk impor gandum dan kedelai. Kebijakan itu, menurut Siswono, menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpikir jangka pendek.

Menanggapi ketergantungan pangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Gatot Irianto mengatakan, di tengah arus globalisasi Indonesia memang tidak bisa 100 persen mandiri. Memang ada ketergantungan, tetapi masih dalam batas yang bisa dikontrol.

Artinya bila sewaktu-waktu ada kenaikan harga pangan global, Indonesia masih bisa menyediakan pangan. Menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi.

Di bidang penelitian, kata Gatot, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Banyak varietas unggul bermutu benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, peningkatan produksi kedelai tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus bertahap.

Terkait dengan bibit unggas, sudah ada sejumlah investor yang tertarik menanamkan modal di Indonesia dalam produksi GPS dan PS. Teknologi pembibitan unggas juga terus dikembangkan. Meskipun begitu, keberadaan usaha kecil ayam kampung juga harus tetap dilestarikan agar Indonesia memiliki ketahanan pangan untuk daging ayam dan telur. (MAS/JOE)

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: