Oleh Sri-Edi Swasono
Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional, 1908-2008, menggelora di media massa. Peristiwa historis-heroik ini digelar di koran-koran.
Boedi Oetomo yang berdiri tahun 1908 telah kita terima sebagai wadah awal kesadaran kolektif yang harus mendahului aksi kolektif, yang membuat pendirian Boedi Oetomo sangat bermakna (Sartono Kartodirdjo, 1994). Boedi Oetomo secara formal tidak berorientasi pada nilai-nilai politik, tetapi sebagai struktur asosiasi menciptakan ruang sosial dan arena politik, lalu terselenggara sosialisasi politik. Dari Boedi Oetomo (1908), tumbuh ideologi nasionalisme Indonesia melalui Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 (loc cit).
Douwes Dekker, yang secara pribadi menyaksikan didirikannya Boedi Oetomo, tulisannya (1913) yang mengatakan bahwa ”perlawanan terhadap kolonialisme adalah suatu kewajiban moral”, menggusarkan Pemerintah Hindia Belanda (Rosihan Anwar, 2008).
Selanjutnya kesadaran dan tekad untuk merdeka makin kukuh dengan ketegasan Soekarno dan Hatta. Mohammad Hatta dalam pleidoi (pembelaan)-nya di Pengadilan Den Haag (1928) berjudul ”Indonesia Vrij” (”Indonesia Merdeka”) menegaskan, ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain….”
Dua tahun kemudian, Soekarno pun menggugat di Pengadilan Bandung (1930), pleidoinya berjudul ”Indonesia Klaagt-Aan” (”Indonesia Menggugat”) menegaskan sebagai berikut, ”…imperialisme berbuahkan ’negeri-negeri mandat’, ’daerah pengaruh’… yang di dalam sifatnya ’menaklukkan’ negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional….”
Setelah Pemerintah Kolonial Belanda yang kejam digantikan oleh penjajahan imperialis Jepang yang bengis, ideologi nasionalisme makin berkembang. Selanjutnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memperkukuhnya, dengan penegasan platform perjuangan nasional ”Merdeka atau Mati”.
Ideologi ekonomi
UUD 1945 yang disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, pada Aturan Peralihan (Pasal II)-nya mengungkapkan pemikiran brilian para founding fathers kita, sekaligus merupakan suatu sikap waspada untuk menghindari kevakuman hukum dalam negara yang baru merdeka.
Berdasarkan UUD 1945 itu, ditentukan berlakunya ”asas bersama” (collectiviteit) dan ditinggalkannya ”asas perorangan” (individualiteit). Seluruh peraturan perundangan Kolonial, tak terkecuali Wetboek van Koophandel (KUHD) berlaku temporer, KUHD haruslah di-Pasal 33-kan.
Berlakunya asas bersama dan perlu ditinggalkannya asas perorangan berdampak sangat fundamental dalam kehidupan ekonomi nasional. Itulah sebabnya ditegaskan pada Pasal 33 UUD 1945 bahwa (ayat 1) ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” ”Usaha bersama” (mutual endeavour) dan ”asas kekeluargaan” (brotherhood, yang bukan kinship) bertumpu pada kesadaran kolektif yang kita istilahkan sebagai ”asas bersama”. Dengan demikian, itulah ideologi ekonomi nasional kita menghendaki berlakunya paham kebersamaan yang berasas kekeluargaan (mutualism and brotherhood), yang berseberangan dengan ideologi ekonomi berdasar individualisme dan liberalisme (liberalisme lahir dari ideologi perfect individual liberty yang pada hakikatnya adalah self-centeredness, menolak intervensi). Mutualism and brotherhood telah banyak dipraktikkan melalui prinsip co-ownership, co-determination, dan co-responsibility dalam keekonomian.
Sejak lama masalah ideologi ekonomi ini menjadi pembicaraan. Pada tahun 1955 dalam Simposium Dies Natalis ke-5 FE UI antara Wilopo, mantan Perdana Menteri (1951-1953) dengan Widjojo Nitisastro (masih mahasiswa tahun terakhir FE UI berusia tepat 28 tahun), perlu kita simak kembali. Antara lain dikemukakan Wilopo, dilaksanakannya liberalisme di Asia oleh bangsa-bangsa Barat berakibat sama seperti yang dilaksanakan di negeri-negeri Eropa, yaitu pengisapan manusia oleh manusia, dikuranginya kebebasan bagi yang lemah ekonominya dan terjadinya perbedaan yang mencolok dalam pemilikan dan kekayaan. Namun, akibat negatif liberalisme di negeri jajahan lebih menyedihkan. UU Agraria 1870 menimbulkan kesengsaraan luar biasa. Oleh karena itu, dasar perekonomian Indonesia terang-terangan antiliberal, bersifat kolektif, yang berbeda dengan asas individualisme.
Dalam simposium itu Widjojo menyatakan bahwa banyak pokok pikiran yang dikemukakan oleh Wilopo sepenuhnya dapat disetujuinya. Widjojo menekankan aspek-aspek fundamental suatu sistem ekonomi berdasar antiliberalisme dengan berbagai pengendalian oleh pemerintah, termasuk menghancurkan kekuatan-kekuatan monopoli dan oligopoli.
Widjojo berbeda pendapat dengan Wilopo yang dianggapnya terlalu memerhatikan masalah pemerataan pendapatan dan hanya sedikit tentang usaha meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Bagi Widjojo, pemerataan pendapatan dan peningkatan pendapatan tidak bisa dipisahkan, haruslah dilaksanakan bersama-sama.
Makin timpang
Apa yang terjadi sekarang tentulah tidak terbayangkan oleh Wilopo dan Widjojo Nitisastro saat mereka berdebat lebih setengah abad yang lalu. Keduanya boleh kecewa besar, saat ini peningkatan pendapatan tak kunjung terasakan dan pemerataan pendapatan makin timpang disertai masifnya kesengsaraan rakyat. Menurut UUD 1945, posisi rakyat adalah substansial, tetapi kenyataannya direduksi menjadi residual, hanya mendapat spill- over atau rembesan.
Akibatnya, pembangunan neoliberalistik menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Liberalisme ataupun neoliberalisme ekonomi makin mewabah, dengan mudahnya bebas masuk merambahi Indonesia. Konsensus Washington sebagai tonggak neoliberalisme dengan pasar-bebas bawaannya (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) menjadi acuan kebijaksanaan ekonomi. Betapapun Presiden Yudhoyono menegaskan sikapnya yang menolak ideologi fundamentalisme pasar, toh Menteri Negara BUMN tetap melaksanakan perintah dinasnya menjuali BUMN-BUMN strategis. Penyerahan sumber-sumber daya alam ke tangan asing telah dibiarkan menjadi brutal piracies.
Tulisan ini mengingatkan pemerintah, dengan niat ngéman (kasih sayang). Mumpung point of safe return masih ada setapak menjelang point of no return. Dampak kebijaksanaan liberal-liberalan ini akan dahsyat, pelumpuhan (disempowerment) nasional akan terjadi dan akan menimbulkan gugatan dan kegusaran rakyat.
Sangat menyedihkan melihat sikap para ekonom muda yang dengan congkak memproklamasikan adagium ilusifnya tentang the end of nation states dan the borderless world secara mentah. Bagi mereka ini (diucapkan) ”nasionalisme adalah kuno, masukkan saja ke dalam saku…”. Mengingat Douwes Dekker di atas, yang ini adalah suatu kejahatan moral (juga kejahatan politik) in optima forma.
Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional bisa menjadi suatu lelucon yang tak lucu. Pesan-pesan UUD 1945 dikalahkan oleh John Perkinsianisme dan Rasputinisme, dikalahkan oleh kurikulum dan silabus ilmu ekonomi di kampus-kampus yang tak berkutik oleh hegemoni akademik.
Wakil-wakil rakyat kita meloloskan sejumlah undang-undang yang kelewat liberal yang membentuk keterjajahan ekonomi, ibarat telah terjadi suatu silent take-over terhadap kedaulatan rakyat yang mereka wakili. Ini harus kita luruskan. Perang untuk merealisasi cita-cita nasional harus kita menangkan, in war there is no substitute for victory.
Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar