Kamis, 14 Agustus 2008

Antara Negara dan Kewargaan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008
THOMDEAN / Kompas Images

Rikard Bagun

Pengantar Redaksi:

Menyambut peringatan 63 tahun Proklamasi Kemerdekaan dan 100 tahun Kebangkitan Nasional, harian Kompas menyelenggarakan seminar bertopik ”Keindonesiaan dan Kewarganegaraan” 17 Juli lalu di Jakarta. Hasil seminar dengan panelis Ahmad Syafi’i Ma’arif, Mochtar Mas’oed, Ignas Kleden, Mochtar Pabottingi, Moeslim Abdurrahman, dan moderator Sukardi Rinakit dirangkum dalam tiga tulisan berikut:

Konsep warga dan kewarganegaraan selalu berkaitan dengan negara. Tidak berhubungan dengan kelompok etnik, kebudayaan, bahasa, atau agama. Seorang Belanda, misalnya, bisa menjadi warga negara Indonesia setelah memenuhi semua persyaratan administratif meski secara budaya tetap Belanda.

Pembedaan antara warga yang asli dan warga bukan asli merupakan pembedaan artifisial karena warga negara tidak lagi berhubungan dengan genealogi, hubungan darah atau warga kulit, tetapi menjadi kategori yang berhubungan dengan kedaulatan negara.

Namun, pemahaman macam ini tidak merata pada masyarakat Indonesia. Masih ada yang tidak mampu membeda-bedakan atau memilah-milah pengertian maupun perilaku sebagai warga dengan pengertian sebagai anggota kelompok etnik, kebudayaan, bahasa, atau agama.

Belum kuat dan belum penuh

Kadar pemahaman, kesadaran, dan perilaku sebagai warga negara (citizen) belum kuat. Sebagai ekspresinya, wacana publik tentang bangsa dan negara atau keindonesiaan tidak begitu mencolok.

Semangat dan perilaku sebagai warga negara-bangsa yang berorientasi pada konstitusi sebagai kontrak sosial tampaknya belum penuh meski sudah 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 63 tahun kemerdekaan.

Paham dan pengertian tentang keindonesiaan tampaknya belum sampai diikat dalam semangat dan perilaku yang menempatkan diri sebagai warga negara (citizen), yang harus tunduk kepada ideologi dan konstitusi negara sebagai kontrak politik.

Sumber kerisauan tentu saja soal eksistensi bangsa-negara Indonesia. Masa depan bangsa-negara Indonesia menjadi tidak menentu jika kesadaran sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya tidak bertumbuh dan berkembang.

Eksistensi Indonesia terancam jika konstitusi tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir dan berperilaku sebagai warga bangsa. Jika konstitusi tidak digunakan sebagai ukuran bersama, proses pelapukan menuju kegagalan bernegara, failed state, pun terjadi.

Tanda-tanda kegagalan bernegara akan semakin menguat jika ideologi negara dan konstitusi sebagai kontrak sosial, yang menjamin kebhinekaan tunggal ika, hendak dibongkar atau diganti.

Lebih mencemaskan lagi, bangsa-bangsa lain sudah semakin jauh berkonsentrasi mendorong pembangunan dan kemajuan, sementara bangsa Indonesia masih terus mengutak-atik, bahkan ingin membongkar dasar negara, tanpa menyadari seluruh bangunan negara-bangsa akan roboh dan hilang.

Indonesia sebagai tenda dan rumah bersama akan ambruk dan hilang dari sejarah jika dasarnya dibongkar. Hampir seluruh sendi kehidupan menjadi rapuh, sementara kaum elite asyik dengan urusan kepentingan sendiri. Kerapuhan itu terasa kian serius karena negara-negara tetangga justru terus bergegas mengejar kemajuan di tengah era globalisasi sekarang ini.

Tanggung jawab negara

Perkembangan dan kemajuan negara- bangsa amat bergantung pada tugas dan tanggung jawab warga, tetapi terutama pemerintah yang menjadi pelaksana kedaulatan negara. Pemerintah bertugas dan bertanggung jawab melindungi segenap warga dan seluruh tanah tumpah darah. Sebagai konsekuensinya, negara yang tidak melindungi warganya yang mengalami persoalan, termasuk di sebuah negara asing, dinilai gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Jelas pula, pemerintahan yang tidak melindungi warganya yang mengalami kesulitan karena warna kulit, kebudayaan, atau agama telah mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelaksana kedaulatan negara. Dengan tugas dan tanggung jawab besar melindungi warga dari pemaksaan pihak lain, negara diberi hak khusus untuk menggunakan kekerasan. Penggunaan kekerasan secara sah menjadi hak monopoli negara.

Tidak ada lembaga atau kelompok atas nama apa pun dan untuk tujuan apa pun diperbolehkan menggunakan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan warga merupakan pelanggaran yang harus dihukum, tanpa kecuali.

Negara dapat memaksakan warga tunduk kepada hukum dan menindak warga yang tidak tunduk. Negara tidak hanya melindungi dan menjamin hak warga negara, tetapi juga memaksakan warga melaksanakan kewajibannya.

Namun, kekerasan bukan substansi kekuasaan negara karena kekuasaan bukanlah wujud fisik, tetapi sesuatu yang diaktualisasikan dalam mengelola perkembangan dan kemajuan negara. Seorang tiran pada dasarnya tidak memerintah dengan kekuasaan, tetapi hanya memerintah dengan menggunakan pemaksaan yang mengandalkan kekerasan.

Sudah menjadi keniscayaan warga dan negara harus mengetahui posisi, hak, dan kewajiban masing-masing. Perlu pengetahuan bagaimana memerintah dan diperintah. Juga diperlukan kemampuan serta keterampilan untuk memerintah dan diperintah.

Dalam proses demokrasi, warga bisa menjadi pemimpin yang diharapkan sanggup menjalankan tugas sebagai politisi, administrator, hakim, ahli hukum, dan tentara. Pendidikan menjadi penting karena menyiapkan warga yang sanggup melibatkan diri dalam urusan publik yang menyangkut tugas negara. Hanya dengan keterlibatan dalam politik, seseorang dapat bertumbuh menjadi individu yang matang dan memiliki kebajikan sebagai warga.

Sebagai manusia, warga tak hanya dituntut bekerja (labor), tetapi juga berkarya (work) dan lebih-lebih beraksi (action) sebagaimana dikatakan filsuf Hannah Arendt. Kerja adalah tindakan yang diharuskan oleh alam, seperti makan, minum, dan mempertahankan diri terhadap alam.

Karya adalah perbuatan yang diharuskan oleh suatu manfaat yang bersifat utilitarian. Sementara aksi terdiri dari perbuatan (deed) dan bahasa (speech). Perbuatan tidak diharuskan oleh apa pun, tetapi lahir dari kebebasan setiap orang.

Dengan karya, seseorang mengubah benda-benda alam menjadi benda-benda budaya, tetapi dengan perbuatan (deed) orang membentuk diri sendiri. Dengan bahasa, orang tidak hanya menjalankan fungsi komunikasi dan informasi, tetapi untuk mengidentifikasi pelaku dan perbuatannya dalam ruang publik.

1 komentar:

sherly mengatakan...

mau tanya, di pengantar redaksi tertulis ada 3 tulisan, tulisan ke-2 dan ke-3 bisa di post juga tidak? soalnya saya butuh ke-2 tulisan tersebut. terima kasih sebelumnya..